Opini

Eksistensi Perbankan Syariah pada Mahasiswa Pangkep

×

Eksistensi Perbankan Syariah pada Mahasiswa Pangkep

Sebarkan artikel ini

Suara Jelata—Sudah 32 tahun bank syariah berdiri di indonesia sejak awal berdirinya yakni pada tanggal 1 November 1991, dan pada awal perkembangannya bank syariah menorehkan prestasi yang baik dengan kemampuannya bertahan pada kondisi krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998.

Lahirnya regulasi UU No.21 Tahun 1998 tentang perbankan syariah merupakan jaminan akan eksistensi dan perlindungan hukum bagi bank syariah setelah sebelumnya hanya mengatur salah satu prinsip bagi hasil yang tidak secara komprehensif mengatur aktivitas bank berdasarkan prinsip syariah.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Jika dilihat data dari OJK tahun 2021 jumlah bank umum syariah adalah 14, 21 UUS, dan 164 BPRS, kemudian saat ini bank umum syariah sudah mencapai jumlah kantor sebanyak 2035 dengan persebaran secara khusus di provinsi sulawesi selatan sebanyak 11 kantor pusat operasional dan 35 kantor cabang pembantu.

Dari segi kuantitas jumlah perbankan syariah masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan bank konvensional, hal ini menjadi tantangan bagi bank syariah terutama dalam hal eksistensinya di masyarakat.

Sejalan dengan pendapat salah satu dosen ekonomi syariah IPB University yang dikutip dari youtube IDX Channel mengatakan bahwasanya saat ini bank syariah harus lebih meningkatkan inklusi dan literasi terhadap produk-produknya.

Saat ditinjau di lapangan, hal ini benar-benar terbukti. Diskusi yang dilakukan terhadap beberapa orang yang berasal dari kampus orange saat ditanya mengenai apa itu perbankan syariah? Mereka menjawab “sebuah bank yang memberikan pinjaman dengan bebas riba”, seolah-olah dalam bank syariah hanya menyediakan pinjaman saja, mereka tidak tahu bahwa produk yang ada lebih dari itu, mulai dari memesan barang, sewa-menyewa bahkan talangan haji bisa kita dapatkan dalam pelayanan bank syariah.

Selain itu, mereka juga “mengeluh” terkait akses bank syariah yang hanya tersedia di kota hingga menjadi kendala bagi mereka untuk membuka rekening dan keberadaaan ATMnya pun terbatas.

Kesadaran dari mereka sebagai orang muslim mendorong mereka untuk beralih pada bank syariah, namun karena tantangan yang telah digambarkan diatas menjadikan mereka “berpikir dua kali” untuk merealisasikannya. Untuk itu, beberapa jalan keluar yang bisa ditempuh oleh perbankan syariah yaitu :

  1. Melakukan sosialisasi dan konsolidasi dengan digitalisasi
  2. Menjadikan mahasiwa, atau ORMAS sebagai pelaku kampanye untuk meluruskan bahwa bank syariah tidak perlu diragukan lagi terlebih pengawasannya begitu ketat yakni diawasai oleh OJK, DSN, dan DPS.
  3. Melakukan ekspansi yang lebih luas lagi, salah satunya bisa dengan membuka rekening secara online

  4. Menerapkan kebijakan yang bersifat afirmatif terhadap lembaga pendidikan contohnya : Universitas bosowa menggunakan bank syariah sebagai fasilitas transaksi keuangannya

  5. Meningkatkan trend digitalisasi dan penguatan teknologi sehingga akan lebih efisien dalam memfasilitasi nasabah. Seperti menjangkau semua merchant yang sering digunakan masyarakat.

Dari ke 5 alternatif diatas, yang paling mudah untuk kita tempuh sebagai bukti kontribusi kepada perbankan syariah adalah menjadikan diri sebagai mahasiswa yang mampu “menyuarakan” kepada masyarakat agar mindset yang tertanam bahwa perbankan syariah hanya beda tipis dengan konvensional bisa di tepiskan.

Tentu saja hal ini sejalan dengan salah satu peran mahasiswa sebagai agent of change (pembawa perubahan) dengan mulai memberikan edukasi kepada masyarakat yang kurang terlayani tentang pentingnya memahami dan memanfaatkan perbankan syariah sebagai alternatif yang lebih baik dalam pengelolaan keuangan mereka.