MAGELANG JATENG, Suara Jelata – Pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Menteri PMD) Yandri Susanto dalam sebuah video yang viral di media sosial telah memantik kemarahan insan pers. Dalam video tersebut, Yandri dengan lantang menyebut,“Yang paling banyak mengganggu kepala desa itu LSM dan wartawan bodrek.”
Pernyataan ini sontak menuai kecaman keras dari berbagai pihak, terutama dari DPD Asosiasi Pewarta Pers Indonesia (A-PPI) Magelang Raya. Ketua A-PPI Magelang Raya, Agung Setiyo, M.Ag., atau yang akrab disapa Agung Libas, menegaskan bahwa ucapan tersebut tidak hanya merendahkan profesi wartawan, tetapi juga berpotensi memecah belah kepercayaan masyarakat terhadap pers.
“Saya dan rekan-rekan wartawan sangat tersinggung! Seharusnya Pak Menteri bisa lebih bijak dalam memilih kata-kata. Jika memang ada oknum yang tidak profesional, sebut saja oknum wartawan, bukan malah menggeneralisasi dengan istilah ‘wartawan bodrek’,” tegas Agung Libas dengan nada geram.
Menurutnya, pernyataan tersebut telah melukai insan pers yang bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik serta Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers adalah salah satu pilar demokrasi yang memiliki fungsi kontrol terhadap kinerja aparatur negara, termasuk pejabat tinggi seperti menteri.
“Jika Pak Menteri punya bukti terkait tuduhan itu, silakan tunjukkan! Jangan asal bicara yang malah membuat kegaduhan dan merendahkan profesi wartawan,” ketusnya.
Lebih lanjut, Agung menegaskan bahwa sebagai pejabat negara, Yandri Susanto seharusnya menjadi teladan, bukan justru mengeluarkan pernyataan yang dapat merusak citra pemerintah serta menciptakan ketegangan antara pers dan pejabat publik.
“Kami menuntut klarifikasi resmi dari Pak Menteri PMD! Jika tidak, ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia,” tutup Agung dengan nada tegas.
Sikap dari A-PPI Magelang Raya ini menegaskan bahwa kebebasan pers tidak bisa diremehkan. Wartawan bukan musuh pemerintah, melainkan mitra dalam menyampaikan kebenaran kepada publik. Jika pejabat negara merasa “terganggu“, mungkin yang perlu dikoreksi bukan wartawannya, tetapi kebijakan dan kinerjanya sendiri. (Nar)