Suara Jelata – Pada perayaan Idul Fitri atau Lebaran identik dengan ketupat, sebagai salah satu pelengkap hidangan dalam menyambut sanak keluarga atau tamu yang berkunjung. Ketupat dalam bahasa Jawa disebut, “kupat”, yang memiliki makna dan filosofi kehidupan masyarakat, terutama masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa, kupat juga seringkali dikaitkan dengan akronim laku papat yang berarti empat tindakan, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran berarti usai, yaitu menjadi penanda selesainya waktu menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh.
Luberan berarti melimpah, yaitu ajaran untuk berbagi kebahagiaan dan rezeki kepada sebagian masyarakat yang masih kekurangan dan memiliki hak menerimanya. Leburan yang berarti melebur dan menghilangkan dosa atas segala kesalahan dengan saling memberikan maaf. Sedangkan laburan berarti kapur yang berwarna putih bersih yang melambangkan kita kembali kepada kesucian.
Sebelum Islam, masyarakat Indonesia, terutama di Jawa dan Bali, sering menggantungkan ketupat di depan pintu rumah sebagai bentuk perlindungan. Ketupat juga melambangkan rasa syukur kepada Dewi Sri, dewi pertanian dan kesuburan dalam mitologi Hindu. Setelah Islam masuk, tradisi Lebaran dan penggunaan ketupat dipisahkan dari tradisi pemujaan terhadap Dewi Sri.
Dalam tradisi Lebaran, ketupat tidak lagi digunakan untuk pemujaan Dewi Sri, melainkan sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan. Penggunaan ketupat sebagai hidangan perayaan tidak terbatas hanya di Pulau Jawa. Di berbagai daerah, terdapat tradisi unik seperti “Perang Ketupat”.
Misalnya, di Pulau Bangka, Perang Ketupat dilakukan saat Tahun Baru Islam atau 1 Muharam. Di Desa Kapal, Badung, Bali, perang ketupat dilakukan untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan. Di Lombok, perang ketupat dilakukan sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan panen dan menandai awal musim tanam.
Menurut penelitian De Graaf dalam bukunya yang berjudul Malay Annual, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah pada awal abad ke-15. De Graaf menduga bahwa kulit ketupat yang terbuat dari janur digunakan untuk menunjukkan identitas budaya pesisir yang didominasi oleh pohon kelapa.
Ketupat bukan hanya makanan yang disajikan untuk menyambut tamu saat Idul Fitri atau merayakan akhir puasa sunah selama enam hari pada bulan Syawal. Ketupat memiliki makna yang sangat mendalam. Nama “ketupat” atau “kupat” berasal dari bahasa Jawa “ngaku lepat” yang berarti mengakui kesalahan, yang disimbolkan oleh anyaman janur kuning yang berisi beras dan kemudian dimasak.
Di bulan penuh ampunan ini, kepada seluruh pejabat, relasi, para guru, dan masyarakat Kabupaten Kediri, Keluarga Besar Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Kabupaten Kediri mengucapkan “Selamat Idul Fitri 1446 Hijriah, Minal Aidin wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin”. (*)
Penulis:
Drs. Agus Sutjahjo, M.Pd.
Ketua MKKS SMP Kabupaten Kediri