Suara Jelata – Wacana pemekaran Jailolo sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) kembali digaungkan dan mendapat dukungan terbuka dari DPRD. Namun, sebagai mahasiswa yang mempelajari ekonomi pembangunan, saya menilai gagasan ini prematur dan berpotensi menciptakan daerah defisit baru bila tidak dikaji secara objektif berdasarkan data dan prinsip ekonomi regional.
Kesiapan Fiskal: Kunci yang Terlupakan
Dalam teori ekonomi publik, kesiapan fiskal adalah prasyarat mutlak untuk pembentukan DOB. Artinya, daerah yang akan dimekarkan harus mampu membiayai sendiri kebutuhan pokok pemerintahan mulai dari gaji ASN, belanja infrastruktur, hingga pelayanan dasar tanpa ketergantungan penuh pada transfer dari pusat.
Namun, berdasarkan data dari Kecamatan Jailolo Dalam Angka 2024, potensi keuangan Jailolo masih sangat terbatas. Hingga 2024, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Halmahera Barat sebagai daerah induk hanya mencapai Rp 57 miliar, dengan pertumbuhan marginal 3% pada triwulan awal 2025. Tidak ada indikator yang menunjukkan bahwa Jailolo sebagai kecamatan bisa menopang biaya pemerintahan sendiri bila berdiri sebagai DOB.
Lemahnya SDM dan Infrastruktur Pemerintahan
Data menunjukkan bahwa jumlah ASN di Kecamatan Jailolo hanya 50 orang, dengan sebagian besar berpendidikan SMA atau SLTA Kejuruan. Hanya 8 orang yang memiliki gelar S1 dan 2 orang berpendidikan S2. Jumlah ini jauh dari memadai untuk membentuk struktur birokrasi DOB yang efisien dan andal. Padahal, dalam kerangka kebijakan desentralisasi, kapasitas tata kelola adalah syarat mutlak agar pelayanan publik bisa berjalan maksimal.
Sementara itu, infrastruktur pendidikan dan kesehatan memang tersedia, tapi kualitas dan distribusinya belum kuat. Misalnya, Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Halmahera Barat hanya 12,5%, jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 31,7%. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan fasilitas belum sebanding dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia lokal.
Ekonomi Produktif Belum Jadi Tulang Punggung
Jailolo memiliki potensi pertanian, namun produktivitasnya masih rendah. Sektor perikanan, perdagangan, dan industri kecil juga belum berkembang signifikan. Dalam perspektif ekonomi regional, sebuah DOB idealnya memiliki basis ekonomi lokal yang kuat agar dapat mendorong pertumbuhan, menciptakan lapangan kerja, dan menghasilkan pendapatan daerah. Namun, sejauh ini Jailolo lebih berperan sebagai pusat administratif daripada sebagai motor ekonomi produktif.
Belajar dari yang Gagal: Tambrauw, Papua Barat Daya
Kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Kabupaten Tambrauw di Papua Barat Daya adalah hasil pemekaran yang gagal berkembang sejak berdiri tahun 2008. Hingga kini, Tambrauw masih minim PAD, sangat tergantung pada dana pusat, dan layanan publiknya belum merata. Hal serupa bisa terjadi di Jailolo bila pemekaran dipaksakan tanpa kesiapan nyata.
Lebih ironis lagi, Halmahera Barat sendiri adalah hasil pemekaran tahun 2003 yang hingga sekarang belum berhasil mencapai kemandirian fiskal. Maka muncul pertanyaan penting : jika daerah induknya sendiri belum siap, mengapa harus melahirkan DOB baru?
Harus Ada Kejujuran Akademik dan Keberanian Politik
Saya tidak menolak pembangunan. Namun, pemekaran wilayah adalah kebijakan besar yang harus berbasis data, bukan euforia. Semangat politik tidak boleh mengalahkan kalkulasi ekonomi. Kita butuh kejujuran akademik dan keberanian politik untuk mengakui bahwa Jailolo belum siap.
Pemekaran yang dipaksakan hanya akan melahirkan beban baru : birokrasi membengkak, defisit fiskal, dan pelayanan minim. Yang dibutuhkan Jailolo hari ini bukan DOB, melainkan investasi pada pendidikan, penguatan ekonomi lokal, dan tata kelola yang sehat.
Jika semua itu sudah tercapai, maka Jailolo akan mekar bukan karena ambisi segelintir elite, melainkan karena benar-benar dibutuhkan dan siap untuk berdiri sendiri. (*)
Penulis: Sahrir Jamsin
Mahasiswa Ekonomi Pembangunan
Universitas Trilogi