BREBES JATENG, Suara Jelata – Anggota DPR RI Komisi II dari Dapil IX Jawa Tengah (Brebes, Tegal, Kota Tegal), Wahyudin Noor Aly mengungkapkan satu persoalan krusial yang mengemuka pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2024.
Putusan yang memisahkan Pemilu Nasional dengan Pemilu Daerah mulai 2029 itu, dinilainya masih menyisakan pekerjaan rumah besar, khususnya menyangkut nasib anggota dewan di daerah.
“Berdasarkan UUD 1945, khususnya Pasal 22E, memang mengatur Pemilu lima tahun sekali. Namun, MK memutuskan Pemilu Daerah akan diselenggarakan paling singkat 2 tahun dan paling lambat 2,5 tahun setelah pelantikan presiden dan anggota legislatif nasional,” jelas Politisi PAN ini pada, Kamis (9/10/2025).
Menurut Wahyudin atau disapa akrab Goyud, jadwal ini menimbulkan persoalan teknis yang tidak sederhana.
Untuk Pilkada, ia menilai masalah yang timbul bisa diatasi.
“Jika itu terjadi bagi Pilkada mungkin tidak masalah. Karena jika Bupati atau Walikota masa jabatannya habis, kan bisa diganti dengan Pejabat (Pj) Bupati,” katanya.
Namun, kata dia, persoalan sesungguhnya justru muncul untuk anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten atau Kota.
“Yang menjadi persoalan, bagaimana untuk anggota DPRD? Jika Pilkada mundur dua tahun dan masa jabatan mereka habis, tidak mungkin anggota dewan tersebut diwakilkan. Ini yang masih akan ditindaklanjuti di DPR RI,” tegas Goyud.
Di luar soal pemisahan pemilu, Goyud juga menyoroti kualitas penyelenggaraan pemilu secara umum.
Ia menyebut pelaksanaan Pemilu 2024 lalu sebagai “pemilu brutal” yang dinilainya berdampak pada menurunnya kualitas demokrasi.
“Saya juga sepakat bahwa pelaksanaan Pemilu 2024 itu pemilu brutal. Kualitas pemilu menjadi kurang baik. Oleh karena itu, kita harus mengevaluasi kenapa Pemilu 2024 itu dianggap brutal,” tuturnya.
Evaluasi ini, lanjutnya, penting untuk memastikan Pemilu Daerah tahun 2029 dan seterusnya bisa berjalan dengan kualitas yang lebih baik.
Sebagai anggota Komisi II yang membidangi KPU dan Bawaslu, Goyud menekankan pentingnya perbaikan sistem dan sumber daya penyelenggara pemilu.
Ia menduga, akar masalahnya mungkin terletak pada regulasi yang tumpang tindih.
“Hal ini apakah dipengaruhi karena faktor regulasi yang salah, regulasi yang tidak memadai, atau regulasi saling bertentangan? Oleh karena itu, Komisi II akan mengevaluasi lagi dengan penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, harus kita perkuat lagi,” paparnya.
Namun, langkah strategis yang paling ditegaskannya adalah penguatan pada sisi pemilih.
Goyud secara khusus menyoroti pentingnya pendidikan politik intensif bagi pemilih pemula, seperti anak SMA.
Ia juga menekankan sosialisasi pendidikan pemilu bagi pemilih pemula, karena pemilih pemula itu menjadi penentu.
Goyud berharap KPU Pusat dan Bawaslu agar dana yang ada dapat dipergunakan untuk meningkatkan pendidikan politik bagi pemilih pemula seperti anak SMA. (Olam).















