Opini

Eksotika Romansa Putri Manohara

×

Eksotika Romansa Putri Manohara

Sebarkan artikel ini
Kisah Romansa Manohara terpahat di Candi Borobudur panel ke-14. (foto: Dwi Anugrah)

Suara Jelata Candi Borobudur merupakan monumen Buddhis terbesar di dunia dan merupakan salah satu pencapaian kultural teragung umat manusia. Hal tersebut didasarkan, karena benar-benar secara faktual merupakan perpustakaan yang dipahat di batu yang melukiskan berbagai kisah terpenting dalam tradisi Budhhis. Terlebih lagi karya spektakuler tersebut tak ditemukan padanannya di tempat lain.

Candi yang dibangun pada masa kebesaran Dinasti Syailendra ini dibangun dari hampir satu juta bongkah batu karang vulkanik, baik besar maupun kecil yang disusun menjadi beberapa tingkatan. Lima tingkat pertama dipahat dengan sekitar  1.460 panel relief, dan juga rumah bagi sekitar 750 arca Buddha dan lebih dari 70 cetiya (tempat pengingat) kecil yang bergaya unik. Adapun coraknya tak ditemukan di tempat lainnya dalam tradisi Buddhis (Anandajoti Bhikku, 2019).

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Dari banyaknya relief yang terdapat di Candi Borobudur, mulai dari relief Karmawibanga sampai Gandavyuha yang jumlahnya sampai 1.460 panel relief berbentuk naratif (cerita), tentunya merupakan sumber inspirasi yang tak pernah kering untuk dapat dijadikan penggalian ide berkarya seni baik seni pertunjukan, seni rupa, maupun seni sastra. Salah satunya adalah kisah Sudhana dan Manohara yang sarat akan pesan-pesan moral.

Romansa Manohara

Pada lantai 1 panel 1-20 di Candi Borobudur bisa disaksikan Cerita Sudhana Manohara yang dikenal dalam beragam kisah dan menjadi kesukaan di Asia Tenggara. Kisah yang diceritakan di Candi Borobudur mengikuti sebagian besar rincian versi cerita Divyavadana 30 (Tripitaka) yang disadur dari bahasa Pali.

Dikisahkan Kerajaan Pancala yang terkenal pada masa itu terbagi menjadi dua kerajaan besar yang membelah jazirah India. Di sebelah utara bernama Kerajaan Pancala Utara yang diperintah oleh Raja Mahadhana. Sang Raja memerintah kerajaaan dengan bijaksana sehingga kemakmuran dirasakan sampai pelosok negeri.

Terlebih lagi Pangeran Sudhana sebagai putra mahkota kerajaan sangat mendukung sepak terjang ayahandanya dalam memimpin negeri pusakanya. Di Pancala Utara ada danau indah tempat tinggal Naga Janmacitra. Sang naga menurunkan hujan dengan teratur, sehingga kerajaan selalu subur.

Lain halnya dengan Kerajaan Pancala Selatan. Sang raja memerintah dengan kejam dan menindas rakyatnya. Akibat perbuatannya para dewata enggan menurunkan hujan ke Pancala Selatan. Rakyat Pancala Selatan yang menderita kekeringan dan kemiskinan memutuskan untuk mengungsi ke Utara.

Dalam kesempatan saat berburu, Raja Pancala Selatan mengetahui secara langsung banyak permukiman kosong ditinggalakan oleh penghuninya. Dari para panglimanya mendapat informasi bahwa banyak rakyatnya yang berpindah pemukiman ke Pancala Utara, karena dirinya memerintah keraaan tidak bijaksana.

Sang raja pun berjanji akan mengubah sikapnya untuk memimpin kerajaannya sebaik mungkin. Oleh para menterinya Sang Raja disarankan untuk menangkap Naga Janmacitra yang tinggal di Pancala Utara. Tidak menunggu waktu lama Raja Selatan membuat pengumuman  bahwa siapa pun yang bisa membawa Janmacitra ke Pancala Selatan akan menerima hadiah sekeranjang emas.

Usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Terakhir utusan raja yang dikenal dengan pawang ular dapat dikalahkan oleh Phalaka, seorang pemburu  sahabat Janmacitra. Manakala Pawang Ular akan menyakiti Janmacitra, anak panah Phalaka melesat dari busurnya, menghalau usaha pawang ular yang akan membawa Janmacitra ke Selatan.

Sebagai imbal jasanya Phalaka mendapat hadiah emas dan intan. Atas saran beberapa pertapa yang ditemuinya emas dan intan tersebut hendaknya ditukar dengan jerat ajaib. Karena jerat ajaib tersebut dapat menangkap apapun walaupun itu makhluk yang tidak kasat mata.

Hal itu dibuktikan, ia berhasil menangkap peri Manohara yang sedang bercengkerama dengan teman-temannya di danau teratai Brahmasabha. Sebagai jaminan agar Phalaka tidak menyakitinya, Manohara memberikan permata ajaib dari rambutnya. Phalaka akhirnya membawa Manohara ke istana Pancala Utara untuk ditemukan dengan Sudhana. Cinta antara Sudhana dan Manohara tumbuh bersemi, yang membawa mereka ke jenjang pernikahan.

Namun cinta mereka ternyata banyak batu sandungannya. Konspirasi jahat yang dilakukan oleh beberapa bangsawan berusaha untuk memisahkan mereka. Banyak penasihat jahat kerajaan yang menghasut Raja Mahadhana agar Sudhana dikirim untuk memberantas para pemberontak.

Sudhana menyanggupi perintah ayahnya untuk menumpas pemberontakan walaupun ia berat hati meninggalkan Manohara. Ketika Sudhana berangkat menunaikan tugasnya, sasaran bidik para penasihat jahat kerajaan tertuju kepada Manohara. Mereka berusaha membunuh Manohara. Atas perlindungan dewata, Manohara bisa menyelematkan diri dan kembali ke kerajaannya.

Sekembalinya dari menumpas pemberontakan, Sudhana terkejut karena tidak menemui istrinya di istana. Ia berjanji akan terus mencari istrinya sampai maut merenggut dirinya. Berbagai kesulitan ditemui di perjalanan selama masa pencarian. Setelah melalui banyak kesulitan, akhirnya berhasil kembali bersatu dengan istrinya. Oleh ayahanda Manohara Raja Druma mereka direstui. Kemudian keduanya kembali ke Pancala Utara. Sudhana dinobatkan menjadi raja dan Manohara sebagai permaisuri kerajaan. Mereka hidup berbahagia sampai keturunannya.

Ciri Romantis

Kisah tersebut merupakan bentuk romansa yaitu prosa dengan ciri romantis bertemakan cinta. Seperti halnya Rama-Sinta, Panji-Sekartaji, Rara Mendut-Pranacitra, dan sebagainya. Pesan moral dalam kisah Manohara tersebut yaitu jangan menyerah untuk mendapatkan cinta yang bijak.

Sebagaimana cinta antara Sudhana dan Manohara yang penuh liku, namun mereka tepat mempertahankan, karena cinta bagi mereka adalah suatu niat suci yang sangat sakral. Cinta tidak sekadar diucapkan dengan kata-kata, namun dalam tataran praksisnya merupakan suatu ungkapan filosofis yang perlu diperjuangkan, baik dalam dinamika suka maupun duka.

Bila digali secara mendalam ternyata dalam relief Candi Borobudur tersimpan segudang narasi sastra yang sangat elok dan menantang untuk menjadi sumber inspirasi. Tentunya sangat disayangkan apabila tidak digali dan dipelajari sampai kedalamannya. Jangan sampai yang memelajari adalah orang-orang luar negeri sebagaimana waktu lampau. Untuk mencari referensi budaya kita sendiri, kita harus ke luar negeri. Hal tersebut sangat ironis. Kalau tidak mulai dari sekarang, lantas kapan? Jangan sampai ada penyesalan di belakang. (*)

Penulis:
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Ketua Sanggar Seni Ganggadata
Desa Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang
Provinsi Jawa Tengah
Dan Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang