
OPINI, Suara Jelata— Ada hal menarik dari sosok penggemar filsafat Michel Foucalt. ia menguasai dengan baik ajaran-ajaran Nietzche, ia mengakui dalam perjalanannya menekuni filsafat, ‘’ia mendapat pencerahan dari pencarian besar Nitsche’’.
Kebenaran bagi Nitsche hanyalah konfensi kebahasaan yang dianggapnya sebagai pengetahuan sempurna tentang benda dan hal. Namun, apakah penamaan yang beranekaragam itu bertumpang tindih dengan dengan benda dan hal?, Apakah bahasa mampu mengungkapkan secara memadai segala realitas?.
Foucalt seperti halnya Nitsche, hendak memindahkan pusat perhatian filsafat, menurutnya berfilsafat bukan lagi mencari kebenaran sebagai poros kronis bagi tradisi filsafat, (berfilfat adalah mencari kebenaran dengan seluruh jiwa, kata Plato), bukan pula mempertanyakan hubungan kebenaran dengan benda dan hal, melainkan melihat bagaimana wacana filsafat dan ilmu dibentuk serta tampil sebagai kebenaran seperti halnya seks yang tampil sebagai penghangat ditengah-tengah realitas masyarakat.
Setelah kegilaan seks dipaksa untuk bungkam, zaman klazik menemukan berbagai tehnik untuk membuatnya berbicara. Seks akan banyak dibicarakan dan secara paradoksal, berbagai tabu seks seperti yang dipaksakan kristianisme dan malah mewajibkan pendeta mendengarkan pengakuan tanpa tending aling-aling, ‘’bukan hanya berbagai tindak yang dilakukan melainkan sentuhan sensual, pandangan mata yang menggoda, segala kata jorok…. Segala pikiran menjurus’’.Itulah cara pendeta menerima pengakuan dosa yang dikutip oleh Foucault.
Dan Konon katanya sebelum masuk masa pencerahan, masih berlaku keterbukaan tertentu. Kegiatan seksual tidak ditutup-tutupi, kata-kata bernada seks di lontarkan tanpa keraguan dan berbagai menyangkut kegiatan seks tidak di samarkan.
Ketika itu hal yang dianggap haram di halalkan, ukuran untuk tingkahlaku vulgar, jorok, tidak santun sangat longgar, serta pelanggaran norma secara terang-terangan, aurat di pertontonkan sampai kepada anak-anak bugil yang lalu lalang tanpa rasa malu atau pun yang menimbulkan reaksi orang dewasa di anggap suatu hal yang lumrah.
Ungkapan dari Foucaul memang benar bahwa wacana dibentuk dan tampil sebagai kebenaran, dan inilah yang dirasakan masyarakat khususnya masyarakat kota hari ini, dimana wacana dijadikan rujukukan kebenaran bagi generasi.
Perilaku-perilaku dan budaya melawan norma mulai tampil dan nampak dalam kehidupan. Namun apakah wacana masyarakat di perkotaan dan pedesaan sama? Dimensi pemahaman sedikit berbedah dengan masyarakat pedesaan, nilai-nilai agama terkhusus adat-istiadat merupakan hal yang paling utama.
Masyarakat ketika memperbincangkan soal seksualitas di depan umum mesti disamarkan, apalagi ketika melakukan hubungan seks di luar nikah maka pasangan tersebut harus siap menerima sangsi social, ia mesti dibantai dan dibunuh.
Sebab Kegiatan seksualitas merupakan sesuatu yang jamud di masyarakat dan hal yang melanggar norma serta adat-istiadat, maka setiap pasangan kekasih tentunya harus mengutamakan norma dan tetap merawat asas kerahasiaan.
Seksualitas bukan saja tidak ada melainkan tidak boleh hadir dan harus segera di tumpas begitu tampil di rana social. Kentalnya nilai-nilai budaya dan adat-istiadat membuat masyarakat harus selalu berpegang teguh dan menjadikannya sebagai pedoman sekaligus pandangan hidup seperti halnya agama.
Sehingga tidak mengherankan ketika di temui salah satua aggota masyarakat yang melakukan tindakan di luar dari norma seperti halnya melakukan kegiatan seksual apalagi di luar nikah, maka ia mesti dibantai hingga berujung pada pembunuhan.
Tentunya Hal tersebut tidak lepas dari aktualisasi yang kental akan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat. Dan terlepas dari pelarangan dan dosa tersebut, telah muncul sebuah kesimpulan bagi kaum oposisi ataupun kaum berjuasi, bahwa kegiatan seksualitas mesti dilakukan di tempat lain, yang lebih produktif dan membawa banyak untung.
Rumah pelacur merupakan salah satu tempat untuk mentolerir seksualitas yang menyimpang. Selaras dengan Stephen Marcus bahwa hal itu sama persis yang di lakukan oleh kaum Viktoria yaitu masyarakat dipengaruhi oleh pengendalian tingkah laku ala ratu Victoria I (1819-1901).
Ratu ini tidak hanya mengendalikan kerajaan tetapi juga tingkah laku kawulahnya. Bagi kaum victoria, termasuk di dalamnya “Penduduk Eropa daratan”, kesantunan puritan sangat penting, sehingga tindak seksual tidak hanya di kekang oleh kesantunan tetapi tetapi juga ditolak dan dibungkam.
Namun karena tidak mungkin dilarang sepenuhnya tindakan yang dianggap illegal itu, maka disediakan tempat khusus yaitu rumah pelacur. Dengan secara sembunyi-sembunyi telah mengalihkan kenikmatan itu dari alam serba diam kealam serba duit yang produktif lagi menguntungkan.
Disinilah tonggak yang membedakan antara masyarakat kota dengan masyarakat pedesaan, karena masyarakat kota telah mengalami halusinasi yang membentuk perilaku masyarakat yang melawan norma, segala sesuatu menjadi absur, perilaku masyarakat menjadi tidak jelas dan pergaulan bebas menjadi pilihan utama.
Ketika kaum Viktoria menyediakan rumah khusus tempat pemuas seks yang dijadikan sebagai komuditi, maka berbeda lagi dengan masyarakat hari ini, dimana pememenuhan hasrat seksual tidak mesti dengan cara pergi kerumah pelacur seperti yang dilakukan kebanyakan kaum Viktoria, yang tentunya menghabiskan banyak uang, sebab tubuh yang dinikmati mesti dibayar dengan harga yang cukup mahal dan itu pun hanya dipakai beberapa jam saja.
Bagi masyarakat terkhusus pemuda era sekarang telah memunculkan kegiatan seksualitas dengan varian yang baru dan hal ini sering di lakukan oleh kalangan anak muda dan pasangan ABG bahkan sebagian mahasiswa juga kadang melakukannya. Dengan bermodalkan kata-kata dan mengatasnamakan perasaan serta cinta yang tulus, hasrat seks biasa terpenuhi dimana dan kapan saja secara rutin, serta tidak membutuhkan biaya.
Orang biasa menikmatinya dan melampiaskan hasratnya secara gratis. Dan Ketika sudah bosan, maka tinggal mencari tubuh baru yang lebih segar tentunya. Abad sekarang telah berhasil melumpuhkan norma-norma dan adat-istiadat yang telah terbangun kokoh di masyarakat. Melahirkan pola fikir yang baru yang menentang norma-norma yang ada, seks secara bebas tidak lagi dianggap sebagai dosa, namun sudah dianggap sebagai hal yang lumrah.
Agama tak lagi dimaknai sebagai pedoman dan pandangan hidup, namun lebih kepada aturan-aturan yang tak memiliki arti dalam kehidupan dan hanya dijadikan sebagai symbol bukan pedoman dan pandangan dalam kehidupan. Sekali lagi, ungkapan dari Foucaul memang benar bahwa wacana dibentuk dan tampil sebagai kebenaran.
Penulis: Muhardi, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar