
OPINI, Suara Jelata— Pesta demokrasi yakni Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2019 atau yang biasa disingkat Pemilu Legislatif 2019 serta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019 tidak dapat kita pisahkan dari kata Golongan putih atau yang lebih dikenal di kehidupan masyarakat dengan sebutan Golput.
Makna inti dari kata golput adalah tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan.
Golput dalam tulisan ini merujuk pada pengertian keikutsertaan pemilih atau partisipasinya masyarakat untuk datang berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada hari pemungutan suara.
Mungkin ada beberapa diantara kita yang tidak tahu secara pasti asal mula munculnya kaum ini (baca Golput).
Golput dideklarasikan oleh Arief Budiman, Imam Waluyo, dan kawan-kawan mereka lainnya. Istilah Golput dicetuskan Imam Waluyo.
Kata “putih” digunakan sebagai bagian dari gerakan yang menganjurkan mencoblos sisi putih kertas surat suara diluar tanda gambar partai politik peserta Pemilu saat mencoblos di bilik suara.
Golput, menurut Arief Budiman, merupakan gerakan moral untuk melahirkan jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apapun.
Golongan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap golongan pendukung rezim Orde Baru, yakni Partai Golongan Karya atau Golkar.
Ketika itu, Orde Baru memaksa rakyat untuk selalu dan wajib hukumnya memenangkan Golkar disetiap perhelatan pesta demokrasi.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, tingkat golput awalnya sebesar 8,6% pada tahun 1955, lalu turun menjadi 3,40% pada 1971.
Kemudian pada tahun 1977 dan 1982 menjadi 3,50%, lalu naik kembali 3,60% pada tahun 1987. Selanjutnya pada tahun 1992 naik menjadi 4,90%, tahun 1997 6,40%, dan tahun 1999 7,30%.
Pada era reformasi, golput berada pada titik yang sangat memprihatikan. Pileg 2004 angka golput berada pada angka 15,90%, Pilpres 2004 putaran pertama 21,80%, Pilpres putranya kedua menjadi 23,40%.
Kemudian pada pileg 2009 angka golput semakin meningkat, yakni 29,10%, sementara pilpres 2009 menyentuh angka 28,30%.
Dan pada pileg 2014 angka golput mengalami penurunan menjadi 24,89%, namun tidak diikuti pada pilpres 2014 yakni 29,01%.
Dari sudut pandang penulis, golput terjadi karena beberapa faktor. Pertama, ketidakpuasan masyarakat akan wakil rakyat yang hanya mementingkan kepentingan pribadi, keluarga dan partai politik yang mengusungnya daripada kepentingan khalayak umum. Jadi, mereka melakukan bentuk perlawanan kepada wakil rakyat dengan tidak memberikan suaranya.
Kedua, persoalan administratif, yakni tidak terdaftar atau tidak mendapatkan kartu pemilih atau kartu undangan pemilih belum sampai.
Ketiga, tidak memberikan suara karena beranggapan pemilu tidak ada gunanya.
Dengan meningkatnya angka golput dalam pemilu, akan menimbulkan efek negatif. Salah satunya yakni pudarnya demokrasi.
Seperti yang diketahui bersama bahwa pemilu adalah salah satu bentuk demokrasi itu sendiri. Rakyat diberikan kebebasan untuk memilih sesuai hati nurani mereka masing-masing, untuk siapa saja calon yang menurut mereka pantas dan layak untuk mengawal inspirasi oramg banyak dan memimpin negeri ini.
Bisa bayangkan, jikalau golput semakin berkembang dan mengakar kuat di negeri tercinta ini, rakyat akan mengalami krisis identitas. Maksudnya apa? Masyarakat tidak lagi menerapkan prinsip demokrasi pada kehidupan mereka dalam kehidupan sehari-hari, padahal mereka adalah rakyat demokrasi.
Akibatnya, akan terjadi konflik dimana-mana karena adanya perbedaan kubu.
Melihat dampak negatif yang ditimbulkan dengan melakukan ibadah golput, marilah bersama-bersama melangkahkan kaki kita menuju TPS untuk menodai jari kelingking dan memberikan suara kita untuk Indonesia tercinta.
Semoga yang duduk dan terpilih nanti bisa membawa negeri ini menjadi “Baldatun Toyyibatun Warabbun Ghafur” (Negeri yang baik, adil makmur, sejahtera dan aman), serta mampu menjadikan negara Indonesia menjadi “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja” (Tercapainya kondisi masyarakat yang sejahtera, penuh kedamaian, keamanan dan keteraturan).
Penulis: Akbar G, Pemuda Tabbinjai Berkarya