Opini

Pendidikan Dalam Pusaran Kapitalisme dan Dehumanisasis

×

Pendidikan Dalam Pusaran Kapitalisme dan Dehumanisasis

Sebarkan artikel ini
Ahmad Muzawir Saleh
Ahmad Muzawir Saleh

OPINI, Suara Jelata— Manusia merupakan makhluk yang berakal dan bebas untuk mencari kebenaran dan pengetahuan.

Perjalanan proses pegetahuan akan membutuhkan wadah yaitu pendidikan. Lewat wadah tersebutlah manusia dapat bersosialisasi dan beradaptasi dalam budaya yang dianut.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Pendidikan dengan kata lain adalah usaha untuk mempertahankan eksistensi kehidupan.

Memandang posisi manusia dari kacamata seorang Paulo Freire, di dunia ini sebagian besar manusia sedang menderita sedemikian rupa, sedangkan sebagian yang lain sedang menikmati kebahagiaan hasil jerih payah orang lain dengan cara yang tidak adil.

Akan tetapi, yang menikmati ini justru merupakan kaum minoritas dalam umat manusia. Persoalan semacam itu disebut freire sebagai “Situasi Penindasan”.

Bagi Freire, penindasan bagaimana pun bentuknya merupakan hal yang tidak manusiawi atau menafikkan harkat kemanusiaan (dehumanisasi).

Dehumanisasi ini berlaku ganda, terjadi pada kaum yang tertindas dan juga terhadap kaum yang menindas. Kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-haknya dinistakan dan mereka ditenggelamkan dalam “kebudayaan bisu”.

Sedangkan kaum penindas menjadi tak manusiawi karena mereka telah menistakan hakekat keberadaan hati nurani dengan melakukan penindasan terhadap sesama manusia.

Manusia dan pendidikan tidak dapat kita pisahkan karena merekalah yang merupakan actor utama dalam dunia pendidikan, dialah yang akan menjadi subjek utama dalam memandang relaitas social yang terjadi.

Manusia dalam mengarungi kehidupan akan membutuhkan ideology, dan hal tersebutlah yang kemudian mengakibatkan pertarungan dua ideology besar dunia yang sama-sama berkompetisi dalam mengontrol roda pendidikan.

Ideology sosialis dan ideologi kapitalisme sama-sama saling bersaing dalam memperebutkan panggung pendidikan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa di era ini kapitalisme merupakan ideology dominan yang dianut oleh sebagian besar manusia, pelebaran sayap dari ideology kapitalisme pun telah sampai pada ranah pendidikan.

Menurut Marx, kapitalisme adalah sebuah sistem dimana harga barang dan kebijakan pasar ditentukan oleh pemilik modal untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dalam sistem ini, mekanisme pasar sepenuhnya dikontrol oleh para pemodal dan pemerintah tak berhak dalam mengintervensi dalam kebijakan pasar.

Prinsip mencari keuntungan ini dapat terjadi dalam dunia pendidikan apabila prinsip tersebut diterapkan dalam ranah pendidikan.

Mengutip Francis Wahono, Kapitalisme pendidikan merupakan arah pendidikan yang dibuat sedemikian rupa sehingga pendidikan menjadi pabrik tenaga kerja yang cocok untuk tujuan kapitalis tersebut.

Ini sepakat dengan dengan Noam Chomsky, bahwa sekarang ini pendidikan kemudian hanya dimaknai sebagai sebuah jenjang untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak dan hakikat dari pendidikan tidak lagi dimaknai sebagai proses untuk menstimulasi kesadaran kritis dan mengajarkan peserta didik untuk menemukan kebenaran bagi dirinya sendiri.

Kapitalisme memandang pendidikan sebagai suatu pembentukan keahlian dan kemampuan dapat mengisi dunia industri kapitalisme mereka.

Mengutip Agus Nuryatno, setidaknya ada tiga dampak yang dihasilkan dari masuknya kapitalisme dalam dunia pendidikan.

Pertama, hubungan antara kapitalisme dan pendidikan telah menyebabkan praktek-praktek sekolah yang lebih mendukung control ekonomi oleh kelas-kelas elit.

Kedua, hubungan antara kapitalisme dan dunia pendidikan telah mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan yang hanya bertujuan untuk mendapatkan profit material dibanding untuk menciptakan kehidupan global yang lebih baik.

Ketiga, perkawinan antara kapitalisme dan pendidikan telah menciptakan fondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nilai korporasi dengan mengorbankan nilai keadilan sosial dan martabat manusia.

Kapitalisme dalam pendidikan akan memandang dunia pendidikan sebagai suatu komoditas yang dapat mendatangkan keuntungan yang besar mengkibatkan berlombanya para pemodal untuk berinvestasi untuk pendidikan dan membangun institusi-institusi pendidikan yang megah agar dapat menarik siswa-siswa untuk mendatangkan keuntungan.

Karena dengan seiring berkembangnya pasar modal, maka meningkat pula permintaan pasar tenaga kerja.

Inilah yang mengakibatkan bergesernya fokus pendidikan yang bukan lagi sebagai suatu proses transformasi ilmu atau proses pemanusiaan tapi hanya sekedar mencetak pekerja-pekerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Lebih lanjut dalam mempertahankan status quo kapitalisme ini maka proses pembelajaran pun harus dikendalikan, inilah yang disebut freire sebagai pendidikan gaya bank yang akan semakin membisukan dana mendehumanisasi pendidikan.

Dalam gaya pendidikan seperti ini maka pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, dimana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya.

Yang terjadi bukanlah proses komunikasi tapi guru menyampaikan pendapat-pendapatnya dan mengisi tabungan yang akan diterima, dihafal, dan diulangi dengan patuh oleh para murid.

Inilah senada jika kita menggunakan teori marx mengenai alienasi dan eksploitasi jika dikaitkan dengan pendidikan.

Alienasi ini bermakna bahwa orientasi pendidikan akan menyebabkan keterasingan murid terhadap realitas sebenarnya sehingga akan tercetak manusia-manusia yang pragmatis, individualistis, apatis, bahkan oportunis, iniah yang kemudian akan tampil menjadi penindas-penindas baru dimasa depan.

Meminjam Paulo Freire bahwa system pendidikan mapan selalu menjadikan anak didik sebagai manusia manusia yang terasing dan tercabut dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya.

Selanjutnya adalah mengenai eksploitasi. Dalam perekonomian kapitalis akan cenderung eksploitatif ketimbang kontributif yang dimana telah menciptakan struktur kelas yang diidentikkan dengan konflik kelas.

Dalam konteks kaum borjuis dan proletariat ini diartikan sebagai bentuk dari degradasi moral borjuis karena mengesploitasi kaum buruh demi keuntungan pribadi.

Dalam dunia pendidikan, maka untuk mengakses pendidikan maka hal tersebut bersifat eksklusif sehingga tidak semua orang mampu untuk mengaksesnya sehingga pendidikan akan dijadikan sebagai tempat untuk mempertahankan status quo yang akan menimbulkan kesenjangan kelas baru.

Pendidikan semacam ini akan memandang peserta didik sebagai seseorang yang dapat diatur dengan mudah atau dengan bahasa kasanya mereka sama dengan benda.

Semakin meningkatnya yang dapat ditabung maka akan semakin mengurangi pula daya kritis anak didik dalam memandang realitas dunia sehingga mereka tidak akan terlibat dalam proses perubahan.

Bagi kaum penindas, pendidikan yang humanism merupakan proses untuk memunculkan kesadaran akan kebebasan kaum tertindas, maka kebebsan kaum tertindas haruslah diawasi secara terus menerus, inilah yang menjadikan kum penindas memandang bahwa setiap orang yang ditemunya merupakan benda-benda mati dan harus dapat dimilika yang berujung terhadap tindakan sadisme.

Itulah yang kemudian dikatakan oleh eroch froom, kesenangan untuk beruasa mutlak atas diri orang lain sesungguhnya didorong oleh sifat kejiwaan yang sadisti.

Dengan kata lain bahwa tujuan sadism adalah mengubah seorang manusia menjadi sebuah benda, mengubah yang berjiwa menjadi sesuatu yang tidak berjiwa, karena dengan adanya pengawasan mutlak dan menyeluruh maka kehidupan kehiangan salah satu kualitasnya yang mendasar yaitu kebebasan.

Situasi penindasan dan dehumanisasi tersebut harus dapat dirubah dengan melibatkan kaum tertindas untuk bangkit dan melawan kaum penindas yang telah memperkosa dan melecehkan hak-hak mereka serta menghina harkat kemanusiaan mereka.

Karena orang-orang yang tertindaslah yang paling memahami kondisi yang mengerikan yang dilakukan oleh kaum penindas dan mereka pula lah yang paling merasakan penderitaan akibat penindasan tersebut.

Akan tetapi, hal yang menjadi problema kemudian yang dikemukakan oleh freire adalah bahwa dalam tahap awal perlawanan, maka kaum tertindas bukan hanya mengusahakan pembebasan, akan tetapi cenderung menjadikan dirinya sebagai penindas baru.

Meraka tidak mampu membedakan bahwa kaum penindas merupakan suatu eksistensi yang berada di luar mereka sehingga mereka mengambil sikap melekat kepada penindas, ini bukan merupakan ketidak sadaran kaum tertidas terhadap kondisi penindasannya tapi mereka telah dibenamkan dalam realitas penindasan.

Dalam mengubah itu semua maka kaum tertindas harus keluar dari kebudayaan bisu dan bangkit untuk membuka tabir penindasan dengan cara melibatkan diri dalam proses pembebasan sehingga akan membentuk suatu system pendidikan yang tak lagi di control oleh kaum penindas tetapi dapat dinikamati oleh segenap umat manusia sehinggah kebebasan akan terlaksana dengan baik.

Penulis: Ahmad Muzawir Saleh, Komunitas Mata Literasi