
OPINI, Suara Jelata— Ramadhan tiba “Marhaban Yaa Ramadhan”. Sontak semua umat manusia yang merayakannya di penjuru dunia menyambutnya dengan gemilang, rasa bahagia, rasa haru menjadi pemandangan tersendiri.
Ramadhan merupakan bulan yang penuh kesucian dan pengampunan, Ramadhan sebagai ruang refleksi untuk segenap umat manusia atas kisah perjalanan masing-masing dengan menjadikan petunjuk yang diturunkan (Al-Quran) sebagai sebuah dasar hidup untuk berkomitmen di atas rel kebenaran.
Setiap sudut akan meriah dengan mahligai kebaikan, Masjid atau tempat-tempat ibadah lainnya akan menjadi ruang dialektika antara seorang hamba kepada sang pemilik segala-Nya dengan syair-syair dan lantunan yang merdu akan menjadi sebuah soundtrack tersendiri di tengah perjalanan spiritual dalam skenario kehidupan dunia.
Bulan Ramadhan tidak terlepas daripada perjalanan Kosmis, yakni dalam hal ini makrokosmos (Jagat Raya) dan mikrokosmos (manusia) begitupula dengan tradisi Al-Quran yang tidak terlepas daripada relasi antara alam dan manusia.
Setiap mimbar akan menjadi wadah penguatan diri dan penyadaran dalam proses kehidupan yang senantiasa penuh dinamika, hal demikian yang seharusnya hadir di bulan ini.
Siraman-siraman rohani di atas mimbar tarwih misalnya, harus lebih memberikan gambaran realitas kehidupan tentang bagaimana konsep hubungan antara alam dan manusia, manusia dan manusia serta manusia dengan Tuhan.
Atau lebih tepatnya deskripsi substansi mengenai Perikemanusiaan dan Ketuhanan yang Maha Esa, agar supaya bulan yang penuh keberkahan ini tidak semata-mata penguatan pada wilayah Ketuhanan yang Maha Esa ataupun sebaliknya, melainkan kedua variabel tersebut harus memiliki hubungan yang selaras.
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, bukan individu dan jika keduanya tidak seimbang maka yang akan terjadi adalah mendominasinya individualisme.
Said Nursi, seorang cendekiawan muslim asal Turki, dalam bukunya yang berjudul Api Tauhid memberikan sedikit gambaran perihal penyakit yang tengah mewabahi umat muslim dewasa ini, yakni meningkatnya individualisme.
Bulan Ramadhan harus ditempatkan sebagai sebuah ruang penyelarasan konsep Perikemanusiaan dan Ketuhanan yang Maha Esa.
Manusia sebagai hamba kepada Tuhan dan manusia sebagai khalifah di muka bumi (wakil Tuhan di bumi).
Manusia sebagai hamba, dalam menunaikan tugasnya dengan senantiasa menyandarkan segalanya kepada-Nya sebagai pemilik seru sekalian alam.
Hanya kepada-Nya lah segala bentuk kepatuhan dan ketaatan disandarkan, tiada yang patut disembah selain kepada-Nya.
Menjalankan perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya merupakan wujud kecintaan seorang hamba (manusia) kepada Tuhannya (Allah SWT).
Apa yang menjadi perintah dan larangan-Nya, semuanya terangkum dengan sempurna dalam kitab-Nya, yakni Al-Quran sebagai penyempurna kitab-kitab lainnya.
Manusia sebagai khalifah fil Ard (QS. Al-Baqarah: 30), manusia harus memberikan dan mewarnai kehidupan di muka bumi (merawat alam semesta beserta isinya) dengan berbekal seluruh ilmu pengetahuan yang telah Allah SWT berikan, bukan sebagai perusak alam semesta.
Manusia yang mencoba memberi jarak pada alam akan cenderung ke arah kerusakan.
Beberapa permasalahan terkait alam dewasa ini yang terjadi di sekeliling kita yang bahkan menelan korban jiwa. Rasanya tidak perlu diurutkan atau dijelaskan satu persatu perihal kerusakan alam yang terjadi di berbagai wilayah hari ini.
Jikalau pun konsep Perikemanusiaan dijalankan sebagaimana mestinya maka setiap permasalahan terkait kerusakan alam bisa terpampang jelas. Bencana-bencana alam yang hadir hari ini tidak terjadi secara spontan melainkan tidak terlepas daripada hukum sebab-akibat.
Ada kerusakan sebagai akibat, maka secara otomatis terdapat penyebab di dalamnya. Oleh karenanya, bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan lain sebagainya bukanlah sesuatu yang harus selalu disandarkan kepada-Nya sebagai bentuk kemurkahan-Nya.
Bumi diciptakan beserta isinya yang di dalamnya terdapat ilmu pengetahuan, hal demikian tergambar dalam QS.Al-Baqarah: 31-32. Salah satu penyebab bencana dan kerusakan alam terjadi yakni karena ulah tangan manusia yang memberi jarak pada alam.
Hal demikian seharusnya menjadi sebuah bentuk pokok bahasan di atas mimbar-mimbar selama bulan ramadhan sebagai langkah penyadaran kepada khalayak (masyarakat umum) mengenai tindakan-tindakan yang tidak mengindahkan hubungan manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan atau sikap yang melenceng dari konsep Perikemanusiaan dan Ketuhanan yang Maha Esa.
Seperti kita ketahui bersama bahwa, bulan Ramadhan adalah bulan dimana Al-Qur’an diturunkan yang berisi tentang petunjuk-petunjuk kehidupan baik perintah maupun larangan-larangan-Nya, maka sudah sepatutnya kandungan-kandungan di dalamnya dijadikan sebagai petunjuk untuk bertindak dalam mengolah alam semesta beserta isinya serta sebagai bekal untuk memperbaiki segala ketimpangan yang terjadi dalam kehidupan.
Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul Anak Semua Bangsa pernah mengatakan bahwa “Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia” dan di buku yang lainnya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2, dia berpandangan bahwa “Barang siapa yang mempunyai sumbangan pada kemanusiaan dia tetap terhormat sepanjang jaman, bukan kehormatan sementara.
Mungkin orang itu tidak mendapatkan sesuatu sukses dalam hidupnya, mungkin dia tidak punya sahabat, mungkin tak mempunyai kekuasaan barang secuwil pun.
Namun umat manusia akan menghormati karena jasa-jasanya”. Kerusakan ataupun penderitaan yang terjadi di bumi ini mampu diperbaiki oleh manusia yang sadar dan manusia itu adalah mereka yang mampu melangkah di atas nilai kebenaran dengan ilmu pengetahuan yang tidak terlepas dari petunjuk kehidupan (Al-Quran), dan mereka (manusia) yang terhormat yang akan tetap hidup meski raganya telah menyatu dengan tanah.
Ciptakan bulan Ramadhan sebagai wadah berkomitmen untuk memperbaiki tatanan kehidupan di bumi ini.
Penulis: Askar Nur, Mahasiswa Jurusan Bahasa & Sastra Inggrus Fakuktas Adab & Humaniora UIN Alauddin Makassar