OPINI, suara Jelata— Halangan utama mendapatkan pembebasan itu, kata Cak Nur, adalah belenggu yang kita ciptakan dalam diri kita sendiri, atau yang dalam bahasa agama disebut hawâ’ al-nafs, (keinginan diri sendiri).
Demikian yang tertulis dalam ungkapan nasehat buku dengan halaman berjumlah 4155 Ensiklopedi Nurcholish Madjid Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban yang dibukukan oleh Budhy Munawar-Rachman.
Tantangan yang kelak menjadi diaspora kritis bagi seorang manusia adalah keinginan kita sendiri bukan dari pandangan subjektifiti.
Akhir-akhir ini mungkin tak seheboh bom bunuh diri di Polretabes Medan namun cukup menyita naluri perlawanan kita, dimana banyak ditemukan Desa Fiktif atau Siluman. Aneh dan entah siapa pelakunya yang terpenting dari semua nya kewajiban anak anak muda untuk sedikit fokus ke sana.
Tepat sehari setelah kepulangan penulis di kampung halamanya di Pakokko Desa Tellulimpoe Kabupaten Sinjai, banyak berinteraksi dengan keluarga yang kebetulan kesemuanya adalah masyarakat desa, selain karena itu ada rindu yang mesti tuntas setidak-setidaknya itu kata Bung Eka Kurniawan penulis Buku ‘Cantik itu Luka’ dan ‘Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas’.
Eh… Bukan karena buku itu semua alasan untuk pulang sebab kutahu semua dari kita bersarang rindu yang mesti tuntas dengan pertemuan seperti aksara ia butuh teman agar menjadi kata. Quality time Family maaf jika bahasa Inggris-nya belepotan ini agar terlihat keren.
Pulang menjadi betul-betul terasa ditambah acara Kalombb’a prosesi adat kami, sebuah adat yang telah diwariskan turun temurun hingga kini, biasanya pesta dimeriahkan dan mengundang semua keluarga besar termasuk kesempatan undang odo odo.
Jadi begini kawan. Tradisi adat kalomba memiliki kedudukan sentral dalam masyarakat Kajang Luar di antara tradisi yang lain. Melalui prosesi tradisi tersebut, maka telah dikhultuskan menjadi bagian dari masyarakatnya secara mengtradisi. Uraian ini dijadikan sebagai landasan dasar dalam penguatan di antara local genius yang ada, sehingga setiap keturunan masyarakat Kajang Luar harus digelar tradisi kalomba (dikalomba), meskipun ada masyarakat Kajang Luar yang menikah dengan masyarakat lain. Apabila tidak dikalomba, maka belum sepenuhnya dianggap menjadi bagian dari mereka secara tradisi dan dikucilkan (menjadi bahan pergunjingan) di tengah masyarakatnya.
Maka dari itu, tradisi kalomba dapat pula dijumpai pada masyarakat atau suku lain yang memiliki garis darah keturunan atau pertalian kekerabatan dari masyarakat Kajang secara umum.
Pada masyarakat Kajang Luar, terdapat perkembangan tradisi kalomba dan mengalami perubahan dalam rangkaian
pergelarannya, meskipun tidak merubah dasar atau inti dari prosesinya. Hal ini dikarenakan masyarakat Kajang Luar dapat mengakses perubahan secara fundamental dan berada dalam tatanan kehidupan masyarakat multikultural, sehingga tradisi kalomba pada awalnya hanya dilakukan secara sederhana, yaitu dilaksanakan dengan dihadiri atau disaksikan hanya keluarga dan unsur pemerintah serta pemangku adat, tetapi masa kini dapat pula dihadiri dan disaksikan oleh siapa saja.
Selain itu sebagai tempat pertemuan keluarga besar atau apa disebut penuntasan rindu. Keren, bukan?
Tak maksud menjadi tradisi sebagai siluman seperti desa yang diungkapkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan pengakuan seorang Camat bernama Jasmin yang dirilis kumparanNEWS pada tanggal 11 November 2019 12:55 dengan judul berita ‘Membongkar Misteri Desa Siluman’
Desa Siluman. Ia hanya ada di atas kertas. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan. Berurusan dengan desa siluman bukan perkara gampang. Camat Lambuya, Jasmin, pusing tujuh keliling. Sejak beberapa bulan lalu, ia turun ke lapangan, bertanya ke penduduk setempat, membuka peta wilayah, sampai mengecek kode-kode desa yang terdata di Kemendagri. Namun desa siluman yang pada pencatatan pemerintah pusat berada di zona administratifnya, tak pernah ia temukan.
Jasmin berhenti mengelap peluh yang menyisakan minyak di wajahnya ketika mendengar nama Desa Ulu Meraka. Camat Lambuya, Konawe, Sulawesi Tenggara, itu terdiam sejenak. Baginya, Ulu Meraka bak desa siluman—namanya ada tapi keberadaannya misterius.
Siang itu kala matahari tengah terik-teriknya, Jasmin menerima tim kumparan di Kantor Kecamatan Lambuya. Desa siluman jadi pusat perbincangan.
Jasmin, Camat Lambuya. Jasmin tak butuh waktu lama untuk mengingat nama Desa Ulu Meraka. Desa itu pernah menggayuti pikirannya saat ia baru tiga hari menjabat sebagai Camat Lambuya di awal Maret 2019.
Kala itu, desas-desus soal desa siluman sudah beredar. Rumor bermula dari tersebarnya Laporan Hasil Klarifikasi Penyaluran Dana Desa di Konawe oleh Inspektorat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara pada 27 Juli 2018.
Dalam laporan itu, Desa Ulu Meraka di Kecamatan Lambuya dan Desa Uepai serta Desa Moorehe di Kecamatan Uepai terdata sebagai penerima dana desa. Namun, penyaluran dana desa sebesar Rp 5 miliar untuk ketiga desa itu sepanjang 2015-2018 mandek karena ketiga desa tersebut tak pernah ditemukan. Betapa ganjil.
Jalan di salah satu desa di Konawe. Ia terus mencari desa siluman itu dengan bertanya kepada pegawai kecamatan lain. Sayangnya, mereka semua hanya menggelengkan kepala. Desa Ulu Meraka tak terdapat dalam peta wilayah Kecamatan Lambuya. Desa itu tak dikenal satu pun warga setempat. Dinas Pemerintahan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Konawe juga memberikan jawaban serupa: tidak tahu.
“Kenapa Pak Camat mau ke sana? Memang di situ ada wilayahnya? Memang ada masyarakatnya? Memang ada (Desa) Ulu Meraka? Kan nggak ada,” ujar Jasmin mengisahkan ulang perbincangannya dengan penduduk Lambuya kepada kumparan, Kamis (7/11).
Ulu Meraka, dalam data kode desa di Kementerian Dalam Negeri, tertulis sebagai bagian dari Kecamatan Lambuya. Desa itu berkode 74.02.01.2016. Meski tercatat di pusat, pengecekan di lapangan yang dilakukan Jasmin tetap nihil. Nyatanya, tak ada Desa Ulu Meraka di Kecamatan Lambuya. Wilayah pemerintahan Jasmin itu memiliki 10 desa bernama Wonuaho, Asaki, Lambuya, Awuliti, Tetembomua, Amberi, Meraka, Watarema, Tanggobu, dan Waworaha.
Memang, ada satu desa yang punya nama mirip dengan Ulu Meraka, yakni Desa Meraka (tanpa Ulu). Nama “Meraka” diambil dari nama sungai yang melintasi desa itu, yaitu Sungai Meraka. Namun, berdasarkan data Kemendagri, Ulu Meraka dan Meraka berbeda. Desa Meraka memiliki kode sendiri bernomor 74.02.01.2027.
Peta Kecamatan Lembuya. Tak ada Desa Ulu Meraka di sana. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan. Penelusuran terus dilakukan. Ternyata, kecamatan tetangga di sebelah barat Lambuya, Onembute, memiliki desa bernama Ulu Meraka. Masalahnya, lagi-lagi, bukan desa itu yang dimaksud. Sebab, Ulu Meraka yang ada di Kecamatan Onembute punya kode berbeda di Kemendagri. Desa itu bernomor 74.02.37.2005.
Kecamatan Onembute sendiri merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Lambuya berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Nomor 6 Tahun 2008. Menurut Jasmin, ketika Onembute masih masuk dalam wilayah administratif Lambuya, Desa Ulu Meraka—yang masuk kecamatan baru itu—bernama Desa Tanggobu.
Sejarah desa itu tak luput dari perhatian Jasmin. Ia menegaskan, Desa Ulu Meraka di Onembute yang dulu bernama Desa Tanggobu itu berbeda dengan desa siluman yang kemudian ia cari-cari.
“Saya langsung konfirmasi ke dinas terkait, dalam hal ini pemerintah desa, tentang Ulu Meraka. Tapi jawaban dari sana juga memang sudah begitu: tidak ada yang namanya Desa Ulu Meraka (di Lambuya). Katanya, mungkin kesalahan pencatatan atau apa sehingga dobel,” ujar Jasmin.
Sekulumit persoalan tentang desa namun hal lain menjadi perhatian bukan karna Kalombb’a menjadi objek temu atas rindu juga bukan tentang desa Siluman tapi subtasi persoalan adalah soal dana desa dikemanakan. Ataukah betul ketika melihat relasi perkataan tuan Cak Nur bahwa Halangan kita adalah terbelenggu dengan keinginan diri sendiri.
Melihat dua kasus dia atas tentang Identitas kebudayaan (Kalombba) dan bias identitas kemanusiaan (Desa Siluman) serta tanpa ingin pamer tentang judul Skripsi penulis tentang Desa.
Komplit jika kemudian kita melihat Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Serta kucuran Dana desa sejak pemerintahan Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia. Nawa cita yang dirancang dengan begitu elok namun untuk Desa Tellulimpoe Kecamatan Tellulimpoe Sinjai seakan nawa cita itu berubah menjadi nawa duka.
Masyarakat yang dibangun dengan tradisi adat yang kuat hingga membentuk keakraban kini hanya politik sektarian ditambah pembangunan tak cukup dirasa terbukti dari tahun ke tahun masyarakat tak berubah sementara kesejahteraan menjadi impian sedang elit desa dimana ia sedang tidak bisa diganggu. Entahlah.
Jalan-jalan yang dibangun atas nama uang rakyat (Dana Desa) tersebut. Setiap tahun terjadi perbaikan namun ditahun – tahun yang sama terjadi kerusakan atau Pemerintah Desa Tellulimpoe membangun dengan orentasi dan kesimpulan ‘RUSAK’. Hanya ia dan Tuhannya yang tahu. Hahaha. Boleh lihat jalan – jalan yang dibangun atas nama uang rakyat itu.
Aneh nya tak banyak pemuda sadar apatalagi menuntut kepada yang Tua sedang Bung Karno berharap dengan Pemuda. Pembodohan menjadi nyata sedang perlawanan menjadi mati.
Nyalakan kembali radar dan sprit ‘Kalombba‘ sebagai upaya temu bagi nalar kritis dan desa siluman sebagai upaya refleksi sebab tanpa perlawanan kau mau disebut apa?.
Pada kesimpulan nya tiada tradisi siluman apatalagi atas nama orentasi rusak, yang telah di Wariskan kepada kita dan Kalombba adalah semangat temu itu. Termasuk perlawanan ia adalah warisan bagi mereka, PEMUDA dan Siapa pun yang mencintai kebenaran hingga kiamat sebagai sebuah CITA agar menjadi CINTA.
Salam Hangat.
*Segenap Tulisan adalah tanggung jawab penulis