OPINI, Suara Jelata— “Lha kalau saya lihat bapak ibu dan saudara-saudara masih melihat ini sebagai masih normal, berbahaya sekali. Kerja masih biasa-biasa saja. Ini kerjanya memang harus ekstra luar biasa, extraordinary.”
Pernyataan di atas merupakan penggalan arahan Presiden Joko Widodo kepada menterinya pada rapat paripurna kabinet terbatas 18 Juni 2020 lalu, yang ditayangkan di Channel Youtube Setpres sepuluh hari kemudian tepatnya Minggu, 28 Juni 2020.
Sidang kabinet paripurna ini merupakan yang pertama kalinya digelar secara tatap muka setelah diumumkannya pandemi Covid-19 pada akhir Februari kemarin.
Dilihat dari ekspresi wajah Presiden, suara yang meninggi dengan nada sedikit bergetar, memang terpancar rasa sedih dan kecewa. Bahkan jika kita melihat dan meresapi lebih jauh, diduga ada kemarahan yang terpendam. Bahkan Presiden sempat mengucapkan akan me-reshuffle menteri yang tidak bekerja ekstra dalam suasana pandemi Covid-19.
Kemarahan Presiden Joko Widodo terhadap para menterinya pada 18 Juni lalu dinilai sebagai kemarahan level tertinggi.
Ucapan tentang reshuffle kabinet pemerintahan dinilai sebagai ancaman serius dari Jokowi ke para menterinya kata pakar deteksi kebohongan manusia (lie detector), Handoko Gani, kepada detikcom. Senin (29/6/2020)
Bagaimana tidak, salah satu bentuk kekecewaan Presiden Jokowi kepada kabinetnya disebabkan kecilnya realisasi anggaran di sektor kesehatan.
Padahal sektor kesehatan adalah garda terdepan dalam memerangi penyebaran Covid 19.
Dalam arahannya Jokowi menyampaikan bidang kesehatan itu dianggarkan Rp75 triliun, tetapi yang baru keluar hanya 1,53% saja. Seperti diketahui padahal Pemerintah kemudian menaikkan lagi anggaran kesehatan terkait dampak COVID-19, dari Rp75 triliun menjadi Rp87,55 triliun dalam revisi Perpres Nomor 54 tahun 2020 tentang Postur APBN 2020.
Dengan demikian sangat kecil sekali persentase penggunaan anggaran yang digunakan dalam bidang kesehatan melihat besaran anggaran yang disetujui itu. Diduga hal inilah yang membuat presiden kecewa.
Kekecewaan yang dirasakan Presiden Jokowi merupakan suatu hal yang wajar melihat ketidakmampuan menteri kabinetnya bekerja ekstra dalam situasi Covid 19. Presiden Jokowi dikenal sebagai Presiden yang gila kerja, progresif, memiliki kesederhanaan dan dekat dengan rakyat, sehingga turut merasakan apa yang dirasakan rakyatnya.
Bentuk kekecewaan Jokowi seolah mewakili perasaan masyarakat yang menganggap lambannya penanganan Covid 19, apalagi masalah realisasi anggaran yang sedikit dalam penanganan Covid 19 ini, padahal pandemi sudah hampir berlangsung selama empat bulan.
Situasi penanganan Covid 19 memang harus dilakukan secara serius dan mendesak. Kepiawaian seorang menteri sedang diuji saat ini.
Kondisi ini merupakan ajang pembuktian siapa yang memang pantas untuk menduduki jabatan menteri maupun lembaga lainnya. Namun nyatanya tak seperti yang diharapakan.
Bersama kita ketahui, demokrasi saat ini menunjukkan bahwa posisi menteri tidak mutlak hasil pilihan Presiden. Sebagian menteri yang bukan dari kalangan profesional dan akademisi merupakan hasil transaksi politik dari Partai koalisi.
Media tampaknya lebih konsen terhadap ancaman reshuffle yang diwacanakan Presiden Jokowi jika menterinya tidak bisa bekerja ekstra disaat Covid 19 begini. Dari dulu Presiden Jokowi memang selalu menyoroti kinerja para menterinya.
Pada periode pertama pemerintahannya dulu, beliau segera melakukan reshuffle jika ada menteri yang ia anggap tidak bisa bekerja dengan baik.
Alasan diuploadnya video Presiden saat memberikan arahan pada rapat paripurna kabinet Indonesia Maju juga mendapat perhatian serius dari media. Jarak antara dilaksanakan rapat dengan diuploadnya video arahan tersebut memang berselang 10 hari.
Banyak dugaan yang mengatakan bahwa Presiden hanya sedang melakukan pencitraan sebagai bentuk kepedulian terhadap krisis yang sedang terjadi saat ini.
Padahal menurut pengakuan Deputi Bidang Protokol, Pers dan Media Kantor Sekretariat Presiden RI Bey Machmudin seperti yang diberitakan Tribun, 29 Juni 2020, mengatakan bahwa Sidang Kabinet Paripurna tersebut awalnya bersifat tertutup atau internal. Karena banyak hal yang baik, dan bagus untuk diketahui publik, maka Kantor Presiden meminta izin kepada Presiden Jokowi untuk mempublikasikan video tersebut setelah dipelajari berulang-ulang.
Terlepas dari dugaan itu, mungkin saja Presiden memang ingin memberikan pesan berupa reshuffle kepada menteri yang dinilai biasa saja dalam bekerja pada situasi Covid 19.
Jarak 10 hari video arahan ditayangkan setelah dilakukannya rapat mungkin saja mengingatkan dan sebagai lampu kuning bagi menteri yang belum juga melaksanakan instruksinya pasca berlangsungnya rapat paripurna kabinet tersebut.
Jika memang demikian, dapat diduga Presiden memang sedang dalam kondisi kecewa dan marah. Maka mungkin saja Presiden Jokowi akan melakukan reshuffle dalam waktu dekat ini.
Yang jelas kemarahan Jokowi menunjukkan penilaian positif terhadap Pemerintah. Dilihat dari banyaknya dukungan di media sosial, misalnya tanggapan masyarakat yang dituliskan di kolom komentar Youtube Sekretariat Presiden, arahan Jokowi sangat menuai simpati masyarakat.
Masyarakat diduga meyakini bahwa Presiden memang sangat serius dan bersungguh-sungguh dalam bekerja maupun menangani penanganan Covid 19. Hanya saja dia tidak didukung secara maksimal oleh menteri pembantunya.
Oleh: Putra Mangaratua Siahaan, S.Sos (Pemerhati Sosial dan Politik)
* Tulisan tersebut merupakan tanggung jawab penulis