OPINI, Suara Jelata— Saat ini, negara-negara dibelahan dunia tak terkecuali Indonesia tengah sibuk berperang melawan pandemi Covid-19 yang tak henti-hentinya mencari korban.
Semakin hari, bukannya mengalami penurunan pandemi, ini justru semakin meningkat. Berbagai upaya telah ditempuh untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, salah satunya adalah dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Tak hanya dari sisi kesehatan, pandemi ini juga berdampak pada segala aspek, seperti pendidikan dan ekonomi. Hal ini tentu menjadi tugas pemerintah untuk mencarai jalan keluar terbaik guna menanggulangi problem tersebut. Sehingga segala bentuk aktifitas dapat berjalan normal kembali seperti sebelum pandemi Covid-19 ini meneror.
Akan tetapi, ditengah peliknya persoalan yang dihadapi rakyat Indonesia akan ketakutan-ketakutan tentang wabah ini, muncul problem lain yang tak kalah menakutkannya bagi Rakyat Indonesia.
Sosok yang sejak awal dicanangkan hingga di sahkan ini terus saja menimbulkan kegaduhan dan penolakan-penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Yah, sosok ini adalah Omnibus Law Cipta Kerja. Sebuah peratuan yang terus saja menimbulkan kontroversi di tengah pandemi covid-19 yang tak kunjung usai.
Namun, sebelum kita mengkritik dan berbicara lebih jauh, ada baiknya kita mencari tahu terlebih dahulu apa sebenarnya Ombnibus Law Cipta Kerja itu.
Menurut Audrey O Brien (2009), Omnibus Law atau UU Cipta Kerja ini adalah adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang dicakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang. Sedangkan Barbara Sinclair (2012), Omnibus Bill merupakan proses pembuatan peraturan yang bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait.
Lantas muncul pertanyaan, mengapa Omnibus Law yang beberapa waktu lalu telah disahkan dalam rapat DPR RI begitu menakutkan bagi rakyat Indonesia terlebih lagi bagi para buruh? Ombnibus Law yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo ini dikecam terlalu terburu-buru dan kontra terhadap rakyat Indonesia terutama para buruh dan pekerja.
Pengesahan UU ini tentu saja menimbulkan kemarahan masyarakat sehingga segala bentuk penolakan tak henti-hentinya disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tanpa terkecuali buruh dan mahasiswa.
Hingga aksi demonstrasi, mogok kerja dan mosi tidak percaya pun dingaungkan oleh publik sebagai bentuk ketidakterimaan mereka atas disahkannya Omnibus Law tersebut.
“Mosi tidak percaya” dibuat dalam bentuk Tagar (hastag) yang tersebar luas dalam dunia maya. Sebagai bentuk nyata penolakan publik terkait pengesahan UU yang dinilai menghapuskan UU terkait hak-hak buruh dan pekerja.
Omnibus Law ini dipandang sebagai sebuah kepentingan politik dan penjajahan bagi para buruh maupun bagi calon-calon pekerja di masa depan, sebagaimana isi dalam Omnibus Law ini yang terdiri dari beberapa poin. Yang intinya bahwa segala bentuk hak-hak buruh akan dihapuskan.
Hal ini tentu saja menimbulkan rentetan pertanyaan, bagaimana nasib para buruh dan pekerja kedepan? apakah mereka akan tetap menjadi budak di tanah air mereka sendiri? apakah ini akan menjaadi awal mula kembalinya kita pada masa dimana negeri ini dijajah oleh asing dengan program kerja paksa yang kembali diterapkan?.
Setiap pekerja tak hanya memiliki kewajiban bagi perusahaan, akan tetapi mereka juga harus memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Bukankah dalam sebuah perusahaan yang baik, harus menciptakan simbiosis mutualisme antara perusahaan dan pekerja.
Karena hak dan kewajiban bukanlah hal yang bisa dipisahkan, mereka harus berjalan beriringan untuk menciptakan suatu kesinambungan. Jika hak-hak para buruh dihapuskan, ini merupakan sebuah bentuk kezoliman bagi mereka.
Sebuah negara lahir karena tiga hal, yaitu karena adanya wilayah, ada rakyat, dan yang adanya pemerintah. Akan tetapi, ketika salah satu dari ketiga komponen tersebut hilang, atau merasa sudah tidak dihargai lagi, maka bisakah sebuah negara bertaha?.
Bukankah sebuah peraturan dibuat demi kemaslahatan rakyat. Akan tetapi jika kemudsaratan yang ditimbulkan dari sebuah peraturan dianggap lebih besar dari kemaslahatannya, untuk apa sebuah peraturan harus dipertahankan.
Menurut saya, Jika sebuah negara ingin memperoleh predikat sebagai negara maju, maka negara itu tak hanya harus maju dalam bidang politik dan pembangunan, akan tetapi setiap elemen masyarakatnya harus sejahtera dari berbagai aspek termasuk ekonomi.
Namun dengan adanya UU Cipta Kerja ini, mampukah pemerintah menjamin kesejahteraan setiap rakyatnya?. Jika dalam suatu negara pemerintah dan rakyat sudah tidak sejalan atau tidak pro antara satu dengan yang lainnya lagi, sudah pasti akan menimbulkan suatu kebahagiaan tersendiri bagi negara-negara lain yang telah memiliki angan-angan untuk mengeruk kekayaan yang tertimbun dalam tanah air kita.
Hal itu tentu akan menjadi mudah bagi mereka. Sehingga kemerdekaan yang diperoleh dengan kucuran keringat dan darah para pahlawan akan sia-sia.
Penulis: Rismayanti, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar
Facebook: Risma Rismayanti
Whatsapp: 085256196328
Tulisan tersebut diatas merupakan tanggungjawab penuh penulis