OPINI, Suara Jelata— Menikah adalah salah satu bentuk ibadah, bahkan seseorang yang telah menikah juga dianggap telah menyempurnakan separuh agamanya.
Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi SAW, bersabda: “Ketika seorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan setengah agamanya, maka bertakwalah kepada Allah pada setengah sisanya” Selain itu, menikah merupakan solusi untuk mereka yang ingin menjaga kemaluan dan menundukkan pandangannya.
Nabi SAW. bersabda “Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bulan Syawal merupakan bulan penuh haru dan gembira bagi manusia beriman. Dianggap bulan mengharukan, karena manusia beriman baru saja meninggalkan Ramadhan sebagai bulan yang penuh kemuliaan dan keberkahan.
Sedangkan dianggap bulan kegembiraan disebabkan pada bulan Syawal manusia beriman telah menggapai kemenangan dari perjuangan perang hawa nafsu selama sebulan.
Kemenangan itu pun diterjemahkan dalam rangkaian kunjungan dan silaturahmi dengan keluarga dan handai taulan. Sebab, lazimnya pada bulan Syawal momen keluarga berkumpul dan saling berbagi, serta kebahagiaan.
Syawal menjadi bulan penuh kebahagiaan dan keceriaan. Selain itu, Syawal juga bermakna peningkatan, yakni bulan peningkatan iman dan ketaatan kepada Allah SWT, berupa melaksanakan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal, serta diisi dengan berbagai aktivitas ibadah lainnya.
Satu ibadah yang sering dilaksanakan manusia beriman pada bulan Syawal yakni pernikahan. Tak jarang pada bulan Syawal setiap orang menerima sejumlah undangan pesta pernikahan (walimatul ursy). Bahkan, Syawal sangat identik dengan bulan pernikahan, yakni bulan paling banyak diselenggarakan pernikahan.
Bisa saja dalam sehari setiap orang harus memenuhi beberapa undangan walimah-an. Sebab, melangsungkan pernikahan di bulan Syawal sudah menjadi tradisi dan momen indah setiap pasangan.
Wujud konkret
Tentu pernikahan pada bulan Syawal juga wujud konkret dari: meningkatnya iman setelah pelaksanaan ibadah pada bulan Ramadhan. Sebab, menikah merupakan satu Ibadah yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya kepada manusia beriman.
Keberadaannya menjadi medium untuk saling berbagi, peka dan peduli, mengasihi dan mencintai, menyatukan keluarga, memperbanyak saudara, serta berkeluh-kesah dalam setiap pergulatan kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial.
Tanpa pernikahan, kehidupan akan terasa ‘pincang’ dan agama pun masih separoh saja. Pernikahan tempat pembuktian cinta, seperti syiar lagu Rhoma Irama, ’’Hidup tanpa cinta bagaikan taman tak berguna,’’.
Bahkan, Rasulullah SAW menikah dengan Aisyah RA pada bulan Syawal. Sebagaimana penuturan Aisyah RA, “Rasulullah SAW menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan Syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah SAW yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku?” (HR. Muslim).
Dan, Aisyah RA pun suka menikahkan wanita pada bulan Syawal. Hal ini menunjukkan bahwa Syawal sebagai bulan kemuliaan dan keberkahan. Sehingga bulan Syawal menjadi momen bagi Rasulullah SAW ketika menikahi Aisyah RA.
Sebab itu, wajar jika pada bulan Syawal setiap kita banyak menerima undangan pesta pernikahan. Para ulama menguraikan beberapa penyebab Rasulullah SAW menikahi Aisyah RA di bulan Syawal, yakni: Pertama, menolak keyakinan Arab Jahiliyah. Sebab, menurut keyakinan Arab Jahiliyah bulan Syawal merupakan bulan sial (thiyarah).
Sehingga siapa saja yang menikah pada bulan Syawal akan membawa kesialan dan malapetaka dalam rumah tangga. Padahal, setiap bulan diciptakan Allah SWT memiliki kelebihan (fadhilah) masing-masing.
Tidak ada bulan yang diciptakan untuk membawa kesialan dan malapetaka. Bahkan, profetik berpesan bahwa berkeyakinan sial terhadap sesuatu adalah sebuah kesyirikan (HR. Ahmad).
Sebab itu, untuk melawan keyakinan tersebut, Rasullah SAW menikah di bulan Syawal.
Kedua, bulan kemuliaan. Syawal merupakan bulan kemuliaan dan kebahagiaan. Sebab, pada bulan Syawal manusia beriman berhari raya Idul Fitri, yakni sebuah momentum manusia beriman kembali kepada kesucian diri (fitrah). Dimana sebulan penuh dalam bulan Ramadhan manusia beriman telah membakar setiap dosa dan noda dengan ibadah puasa (shaum), shalat malam (qiyam), infak, sedekah dan zakat, serta berbagai aktivitas kebaikan lainnya.
Hal ini menunjukkan pula bahwa keyakinan masyarakat Arab Jahiliyah tentang bulan Syawal penuh dengan kesialan dan malapetaka merupakan sebuah kekeliruan.
Sebab itu, Rasulullah SAW menikahi Aisyah RA di bulan Syawal. Untuk menunjukkan kepada umat bahwa Syawal merupakan bulan yang penuh kemuliaan seperti bulan-bulan lainnya.
Lebih lanjut, perintah menikah juga ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya, “Dan nikahilah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberiaNya dan lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nur: 32).
Bermakna bahwa Allah SWT akan memberikan kelapangan dan kemudahan rezeki bagi siapa saja yang menikah. Ini menunjukkan bahwa menikah akan mempermudah dan memperbanyak sumber rezeki.
Ibnu Mas’ud ra berpesan, carilah kekayaan dengan menikah. Profetik berpesan menikahlah untuk menjaga kesucian (HR. An-Nasai).
Sebab itu, bulan Syawal merupakan momentum pernikahan bertujuan untuk melawan keyakinan keliru Arab Jahiliyah, meneladani pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah RA, memuliakan Syawal sebagai bulan peningkatan iman dan ketaatan, menyambung tali persaudaraan dengan saudara seakidah dan mempersaudarakan satu keluarga dengan keluarga lain.
Karena menikah bukan hanya sekadar menyatukan satu mempelai laki-laki dan mempelai perempuan saja, tapi menikah juga menyatukan satu keluarga dengan keluarga lainnya.
Akibatnya, saudara bertambah, keluarga meriah, rezeki akan melimpah, kehidupan akan cerah, dan menggapai jannah akan mudah. Dari sana akan lahir rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah. Semoga!
Penulis: Ilham, Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semester VI, IAIM Sinjai.
Email: musafirquranic00@gmail(dot)com