
OPINI, Suara Jelata— Semangat menimbah ilmu sangatlah penting, dari buaian sampai liang lahat. Dari ajaran Agama, Sekolah, dan lain-lain.
Bahwa tambahlah pengetahuanmu agar bermanfaat bagi orang banyak, saling berbagi meskipun tak berupa harta kekal atau benda nyata pun, itu adalah keharusan seseorang untuk bisa bermanfaat bagi orang banyak.
Tak ada yang salah mencari ilmu, apalagi melanjutkan sampai dengan jenjang perguruan tinggi. Sekarang pun, kampus tersebar di seluruh dunia, mulai maju dengan segala inovasi dan aturan tersendiri yang dibuatnya.
Indonesia pun tak kalah langkah, bangunan kampus pesat di bangun. Tapi anehnya, aturan hampir sama semua.
Dari dulu sampai sekarang tetaplah sama, selalu mengekang gerakan mahasiswa untuk melawan kekuasaan penguasanya dan sampai pada penyampaian aspirasinya.
Kampus tak lagi sehat, apalagi di Zaman Orde Baru (Orba), suara-suara kritikan harus dibungkam atau dihilangkan.
Kebijakan pada saat itu terus berdampak sampai saat ini. Aturan kampus pun di buat dari pelarangan rambut gondrong, pakaian harus rapi, batas kuliah 4 tahun, harus bersepatu, dan apalagi kalau ada mahasiswa kedapatan demo, pasti goresan pena dosenlah yang berbicara.
Kampus mendidik mahasiswanya menjadi antek-antek mereka, yang suatu saat bisa mereka mainkan sesuai kebutuhan pasar.
Tak luput dari ingatan, bagaimana Rezim Orba yang di nahkodai Jendral Soeharto, zaman dimana serba aman dan terkendali bahkan sampai nyawa terkebiri.
Kampus sebagai tempat pengawal kebijakan lainnya, tetapi bungkam. Begitu pun dengan media-media yang tidak pro dengannya di bredel, hanya beberapa saja dijalankan tapi dalam pengawasan.
Orba tak memberi ruang sedikit pun, bagi rakyatnya mengkritikisi kinerja penguasa kala itu. Pecahnya penuntutan terhadap kinerja Soeharto pada peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 atau yang dikenal dengan MALARI, ketidakpuasan para mahasiswa berujung pada unjuk rasa Besar-besaran kepada Rezim saat itu.
Kacaunya sistem perekonomian dan kongkow dengan pihak asing ialah pemicunya gerakan demosntrasi itu.
Soeharto tak tinggal diam, dia menyadari hal itu. Badan-badan intelejen pun dibentuk untuk membasmi para pengacau di masanya.
Dia mengetahui bahwa dalang dari semua ini adalah ulah mahasiswa, dan kesulitan baginya untuk memusnahkan semua gerakan pada masa itu.
Kampus solusinya dan menjanjikan untuk sebagai alat peredam gerakan mahasiswa.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef pada kabinet pembangunan III menjadi senjata, dengan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 atas kebijakan tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang dianggap kontroversial itu, Kebijakan NKK/BKK tersebut dinilai sebagai upaya pemerintahan Soeharto dalam mematikan daya kritis mahasiswa pada kinerja pemerintahan yang dipimpinnya.
Berlakunya kebijakan tersebut, kampus menjadi steril dan tidak lagi menjadi wadah mahasiswa untuk diskusi dan melaksanakan kegiatan mahasiswa lainnya.
Kegiatan diskusi dilakukan secara sembunyi-sembunyi guna membahas kinerja pemerintahan. Intervensi besar-besaran di setiap kampus terus dilancarkan, alhasil jika ditemukan gerakan mahasiswa yang mencurigakan, perlawanan represif pemerintah adalah jawabannya, penculikan terhadap mahasiswa hingga pembunuhan melalui penembak misterius (Petrus).
Kegiatan kampus semata-mata jadi tempat untuk hal akademis saja, lain dari itu tidak diperbolehkan.
Setelah kebijakan NKK/BKK dikeluarkan, jauh sebelum itu Soeharto sudah mengeluarkan Pelarangan rambut gondrong dengan membuat Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong (BAKOPERAGON).
Lembaga-lembaga pemerintah, kampus, dan sebagainya tidak akan melayani orang yang berambut gondrong.
Soeharto menekan keras ruasng publik, mengintervensi lebih jauh. Ia lebih mementingkan mengurusi para pengekangnnya dibandingkan praktek Kolusi, Korupsi, Nepotisme yang mulai merajalela di zaman itu.
Gerakan mahasiswa pun tak tinggal diam, peristiwa MALARI menjadi motor penggerak untuk menumbangkan rezim anti kritik ini.
20 Mei 1998 menjadi hari paling buruk buat Soeharto, unjuk rasa besar-besaran berhasil menumbangkan soeharto dari pucuk pimpinannya.
Lengsernya Soeharto menjadi angin segar, akan tetapi nyawa beberapa penggiat aktivis saat itu harus direnggutnya. Kekejaman ABRI, Petrus, dan badan buatan Rezim ORBA mimpi buruk bagi bangsa ini.
Alhasil lengsernya rezim Soeharto tak membuat kebijakan-kebijakannya ditangggalkan atau dilupakan, tetapi malah diberlakukan sampai saat ini.
Zamannya saja yang berubah tapi aturannya diganti dengan polesan nama yang berbeda.
Kampus khususnya, berisi para intelektual dari dosen sampai mahasiswa merupakan reinkarnasi Orde Baru.
Kita bisa lihat, ada berapa kampus di Indonesia yang memberikan kebebasan kepada mahasiswanya untuk berekspresi dan tidak mengekang? Yang ada hanya pembungkaman, pengekangan, Skorsing dan lebih parah lagi dikeluarkan atau Drop Out dari kampus tersebut.
Permasalahan yang terjadi kampus saat ini memakai kebijakan Orba ala rezim Soeharto, dari pelarangan mahasiswanya berambut gondrong, dilarang melakukan aksi demonstrasi, mengkritik kampusnya, pelarangan diskusi dan membaca buku kiri dianggap berbahaya, bahkan pembatasan perkuliahan tepat waktu. Kampus mengajarkan hal-hal akademis saja, lain dari itu tidak bisa.
Mahasiswa seakan dikandangkan, dengan adanya aturan kampus yang tak begitu rasional. Seperti yang dirasakan oleh kawan-kawan mahasiswa institut Agama Islam (IAI) Muhammadiyah Sinjai yang di DO lantaran hanya mempertanyakan transparansi anggaran biaya UAS, tanpa diberi peringatan secara tertulis maupun lisan.
Jika Kampus rasa Orba, maka di setiap lini pasti ada penikmatnya, dan jika kebenaran hari ini adalah kebohongan yang selalu diulang maka pantasnya sejarah dulu perlu di ulang juga.
Isi diluar tanggung jawab redaksi