
OPINI, Suara Jelata — Media elektronik, media cetak dan media lainnya sebagai tempat penyebaran informasi telah mampu untuk menjadikan dirinya sebagai lalulintas informasi di era yang dewasa ini.
Pasca reformasi 1998, yang ditandai dengan kebebasan berekspresi dan keterbukaan informasi telah membuka secara lebar kesempatan bagi setiap media untuk melakukan penetrasi dalam segala aspek kehidupan manusia.
Tak bisa dipungkiri, kebutuhan manusia akan informasi sudah hampir menjadi kebutuhan primer bagi setiap manusia. Dengan demikian, pemilik media dan awak media menyadari akan vitalnya keberadaan mereka di masyarakat.
Peluang yang seperti inilah yang kadang dimanfaatkan oleh segelintir orang pada situasi tertentu untuk mengelabui atau menyebar berita hoax kepada khalayak. Ironisnya, terkadang sebagian masyarakat menelan mentah-mentah informasi hoax yang beredar dalam ruang lingkup masyarakat tanpa ada upaya untuk memverifikasi lebih dalam mengenai validitas informasi tersebut.
Inilah dampak buruk dari keterbukaan informasi yang tidak sebanding dengan tingkat konsumtif literasi masyarakat. Begitupun dengan sikap pemerintah,regulasi yang dibuatnya tidak mampu untuk membendung arus berita hoax. Bahkan disisi lain, secara mengejutkan sebagian pemerintah sendirilah yang menjadi produsen hoax itu sendiri.
Ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Rocky Gerung seorang filsuf yang berjubah pengamat politik dan memiliki daya pandang politik yang tajam, beliau mengatakan “Hoax terbaik adalah versi penguasa, sebab mereka memiliki peralatan lengkap yaitu statistik, intelijen, editor, panggung media dan seterusnya.”
Intinya tidak ada upaya yang kongkrit yang dilakukan oleh pemerintah untuk membendung arus informasi kebohongan. Sekarang kita masuk pada pembahasan mengenai keterkaitan antara pemilu dan kuasa media.
Perlu kita ketahui bersama,di era digital ini pemilu bukan hanya tentang perang kuasa struktural tetapi juga perang ruang. Ruang yang saya maksud adalah ruang media,media sebagai tempat produksi massal wacana publik.
Pada momentum pemilu,media sangat massif untuk memproduksi berita pemilu,menurut analisis saya moment seperti inilah terkadang media mengidap penyakit standar ganda,dalam artian selektif (pilih-pilih).
Hal yang seperti itulah kadang menciptakan konflik baru dalam kondisis sosial-politik kita. Bagi saya mungkin tidak perlu untuk menyebutkan wacana apa yang “membludak” itu atau media mana yang mempraktikkan hal-hal seperti itu, takutnya saya juga dituduh mengidap penyakit standar ganda (pilih-pilih).
Sebagai kesimpulan untuk adanya kestabilan kehidupan demokrasi kita,saya dan mungkin masyarakat lainnya mengharapkan bahwa media tidak lagi merefleksikan kepentingan pihak yang membiayai mereka, tetapi media adalah tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang betul-betul objektif bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Oleh: Muh Imam Hidayat
*Tulisan ini adalah tanggung jawab penuh penulis