
OPINI, Suara Jelata – Objek itu dikenakan “devaluasi radikal” yaitu dengan mengadung kesucian dengan tegas diturunkan nilainya dari ketinggian derajat yang mengandung kesucian.
Selanjutnya menjadi objek yang hanya boleh jadi mengadung kegunaan praktis sehari-hari saja’ demikian ungkapan Robert N Bellah, dalam bukunya Nurcholis Majid, berjudul Islam Doktrin dan Peradaban.
Tampaknya Robert ingin melakukan evalusi massal terhadap belenggu elektabilitas otak manusia bahwa proses kehidupan praktis adalah dari jalan panjang asal muasal keberadaan manusia sebagai ciptaan dan pejalan anarki di muka bumi (social).
Dari nasehat tersebut renungan merenung kembali mengalami paksaan solutif dari proses demitologisasi kedalam proses devalusi radikal yang berdasar pada konsepsi kesucian nilai dibumikan kedalam presepsi dehistori.
Menjadi hal yang tak biasa kembali mengevalusi pikiran dan merawat akal sehat serta berujung praktis kehidupan ummat dan bangsa manusia pada konteks Indonesia.
Sebab, jika ada distorsi kosmologis antara teoritis dan praktis yang masing-masing bersandar pada historis dan empiris maka akan mengalami patologi social, sehingga berakibat pada individu yang ego dan pikiran radikalisme tentu jauh dari cara pandang sikap pluralisme dan toleransi.
Sedangkan harmoni yang ada hanya pelabelan negative terhadap etalase masyarakat seperti yang banyak terjadi di Pedasaan, mengapa sebab cenderung masyarakat desa jauh dari referensi serta kajian – kajian kebangsaan.
Ketertinggalan akibat dari konsepsi yang disorentasi seperti banyak terjadi di kampung – kampung perbatasan kabupaten sebab pelabelan ketertinggalan dan anggapan ketidaktahuan masyarkatnya.
Anehnya hal tersebut banyak dipraktek oleh pemerintah setempat seperti hal pemerintah desa dan pemerintah daerah sehingga ada semacam penganak tirian nilai.
Sekarang hal tersebut bukan satu alasan untuk tidak mengkomsumsi informasi terlepas ia fakta social ataukah rekayasa social. Untuk itu, bagaimanakah pemikiran itu melahirkan konsepsi ideologis praktis.
Dalam sebuah video ceramah seorang Dr. Moh Sabri Ar, menyebut bahwa yang merubah peradaban pemikiran yang berujung pada tindakan manusia sepanjang sejarah kehidupan manusia dibagi menjadi 3 prosesi pertama mitos, kedua agama dan ketiga adalah sains.
Bahwa mitos, semisal pemberian sesajin kepada tempat yang dianggap memiliki sakralitas atau terdapat fenomena kekuatan yang tak termanai oleh daya manusia itu dilakukan untuk menegosiasi alam semesta agar tetap menjaga keseimbangannya.
Agama adalah sebagai media penghambaan manusia, semisal prosesi berdoa untuk manusia menegosiasi Tuhan sebagai pemilik kuasa untuk menjaga terciptanya kedamaian antar ciptaan.
Dan yang terakhir adalah Sains atau biasa dikenal sebagai ilmu penegtahuan dan tekhnologi, semisal manusia dituntut untuk mengunggap fakta sebuah fenomena dalam hukum kasauliatas.
Merujuk akhir-akhir ini telah dipertontonkan oleh media elektoronik hingga cetak melelahkan, letih dan panjangnya sebuah perhelatan “demokrasi”.
Memakan banyak korban dan tak hentinya perdebatan tanpa sikap toleran para elit untuk sebuah kuasa dan dominasi pada sesamanya dan di sana tidak terlihat sikap bijak, sebab haus kuasa lebih dipamerkan layaknya senitron tanpa busana nilai kemanuasian.
Sebagian manusia menjadi pelupa bahwa nilai ke-ESAan itu hadir menajdi cinta pada apa yang baik ke dalam pentas muka bumi bagi sesama mahluk.
Seperti misal diungkap oleh William C. Chittick, salah satu cendikiawan muslim Jepang dalam bukunya berjudul Kosmologi Islam dan Dunia Modern katakan ‘melihat alam (semesta) sebagai pentas signifikasi ketuhanan.
Yang ditanamkan cahaya yang terang dan rasional’. kita lupa bahwa reprentasi cahaya (penerangan) Tuhan hadir agar terang dan rasiaonal yang ditangkap oleh konteks kebudayaan dan lingkungan.
Mitos masa silam kembali dipertontonkan menjadi wajah baru, menegosisasi pemilih agar percaya pada sakralitas ‘janji’ para mereka yang haus dominasi sesama.
Agama bukan lagi menjadi Bahasa kemanusiaan tapi berujung pada gaya bahasa pelekatan pada identitas politik untuk mengumpulkan suara bukan untuk totalitas pengabdian hamba agar ia menyelam pada makna fitrah.
Sebagaimana Agama itu hadir agar menciptakan cinta. Apalagi ilmu pengetahuan sains ia tak lagi menjadi tolak ukur objektifitas infomasi ia jatuh pada perhelatan yang tak subtansial ia dikaji untuk memanipulasi fakta.
Keotentikan hilang tanpa jejak sebab ia telah berubah menjadi mengerikan atau apa yang kita kenal hoax atau berita bohong, padahal ilmu untuk mendorong keberadaban dan daya kreatifitas agar kita memaknai semesta sebagai tanda dan lambang kasih sayang Tuhan.
Hingga saat ini manusia wajib bertenaga untuk yang lebih berat menggali nurani sebab barangkali di sana ada kejernian diri manusia agar mampu mendorong pikiran untuk tak fanatik terhadap tokoh, tapi pada siapa yang mencintai ketulusan.
Kuasa manusia dan hasrat mendominasi semakin meningkat sebab peradaban pemikiran manusia tertutupi oleh nafsu membabi buta dari individu ego dan pikiran radikalisme negative sehingga jauh dari sikap pluralisme dan toleransi berujung harmoni.
Kembalilah pada budaya saling menghargai, menjaga keutuhan hidup umat dan bangsa jauh lebih penting dari sekedar siapa mendukung apa.
Sebab kau tidak pernah minta untuk lahir dimana, sekarang kau telah ditakdirkan lahir di Indonesia. Pertanyaan untuk kita anak negeri ini, sudah lahirkah Indonesia di hatimu?.
Sekarang kita mesti menghadirkan cinta dan tulus untuk negeri yang diperjuangkan oleh darah dan air mata.
Sebab ‘dimana ada cinta dan ketulusan, di sana tempat pulang’ paling tidak itu pesan El pada Sekar dalam buku berjudul Pejalan Anarki sebuah kitab sepasang yang melawan ditulis oleh Jazuli Imam.
Penulis: Kasrum Hardin
* Tulisan tersebut adalah tanggung jawab penuh penulis