OPINI, suara Jelata— Pulang selalu menjadi kerinduan yang menggebu-gebu bagi setiap manusia terhadap tanah leluhur yang pernah dihuni, disinggahi sebagai tempat kelahiran hingga menjemput kedewasaan.
Seperti kebanyakan orang di Indonesia, musim lebaran merupakan tradisi atau ritual tahunan bagi masyarakat islam dalam merayakan euforia lebaran hari raya idul fitri.
Mudik dalam bahasa keseharian ialah berlayar ke hulu atau pulang menuju kampung halaman. Mudik selalu identik dengan tamasyah dan wahana silaturahmi dengan kerabat keluarga di kampung halaman.
Seperti halnya kehidupan, ritus mudik selalu menuai problem dalam kehidupan bermasyarakat. Bercermin di tahun tahun sebelumnya, dimana ritus atau aktivitas mudik akan menciptakan perputaran uang yang begitu besar dan cepat.
Puluhan triliun rupiah berpindah tangan dari kota ke kota, dari kota ke desa-desa dan perkampungan kecil.Tentu, secara agregat, nilai uang di sini bukan hanya berbentuk cash, namun juga bisa berupa perkakas elektronik, pakaian, bahan makanan, minuman, dan berbagai barang kebutuhan lainnya.
Dalam pendekatan teori ekonomi, fenomena seperti ini disebut sebagai redistribusi ekonomi atau redistribusi kekayaan. Yaitu, terjadinya perpindahan kekayaan dari satu daerah ke daerah lainnya atau dari satu individu ke individu lain.
Dari kacamata hubungan sosial, tradisi mudik bisa diterjemahkan sebagai media untuk menjaga tali persaudaraan dan mempererat hubungan antara masyarakat urban-rural, baik dalam format horizontal maupun vertikal.
Hubungan horizontal terjadi antara sesama teman, kerabat, ataupun sanak saudara. Hubungan format vertikal terjalin antara orangtua dan anak-anak, atau antara yang lebih tua dan yang muda. Dalam dimensi sosial, tradisi mudik berarti bisa menjadi budaya positif untuk menjaga keutuhan dan kelanggengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Proses mudik atau berlayar kehulu dan meninggalkan hilir merupakan wahana mempertegas etos kerja dan menjernihkan kembali pemikiran-pemikiran yang kejam dari kota, sebab kehidupan di kota lebih kejam dari ibu tiri.
Tradisi mudik adalah ritus tahunan yang menguras banyak uang dalam perputaran sistem kapitalis dan menguras banyak energi setiap individu.
Namun hal tersebut bukan menjadi hambatan untuk sampai ke kampung halaman. Kampung seperti punya suara yang terus memanggil manggil manusia yang tumbuh besar di rahimnya untuk kembali pulang.
Selain ritus tahunan, tradisi mudik juga merupakan ajang silaturrahmi kemanusiaan untuk menghilangkan noda dan dosa. Masyarakat perantau atau yang menempuh pendidikan maupun yang ke kota mencari kehidupan yang lebih layak akan kembali kekampung halaman dan menjenguk kedua orang tua yang sudah lama ditinggal, Sebab hal yang paling menyedihkan ialah melupakan kampung halaman sendiri.
Seperti halnya cerita kampung tentang maling kundang yang di kutuk karena lupa kampung halamannya sendiri, lupa kampung halaman berarti lupa kedua orang tua yang senangtiasa menanti dan menunggu anak kesayangan untuk pulang dan berkumpul bersama.
Kampung halaman selalu memberi kenangan dan ikatan kehidupan yang sulit untuk di hapus dalam ingatan, karena disanalah seseorang mendapat genangan kenangan yang begitu berharga dan pendidikan yang tentunya berbeda dengan pendidikan di kota yang di didik oleh gedung gedung megah.
Dari berbagai ingatan tersebut, tidaklah mengherankan ketika mudik selalu menjadi tradisi yang dirindukan setiap orang yang berada di perantauan yang panjang.
Penulis: Muhardi, (Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)
– Tulisan tersebut adalah tanggung jawab penuh penulis.