OPINI, Suara Jelata—Indonesia sebagai sebuah totalitas kenegaraan yang diproklamirkan oleh Si Jenius Nusantara di hadapan rakyat Indonesia pada, 17 Agustus 1945 silam.
Tak terlepas dari sejarah panjang perjuangan bangsa, sehingga dalam hal internalisasi nilai kemerdekaan harusnya distimulasi oleh sejarah kenegaraan.
Hadirnya gagasan kemerdekaan tak mungkin tercapai tanpa adanya rasa nasionalisme bersama yang mendorong persatuan dan kesatuan.
Sebab cita NKRI tak jauh dari persamaan visi akan keinginan bersatu.bMakanya Bung Karno dalam setiap pidatonya tak henti-hentinya mengorasikan jargon penyemangat yang tersimpul dalam istilah JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.
Sebagai pendobrak segala potensi sikap pragmatisme dalam diri rakyatnya di tengah atmosfir kemerdekaan. Oleh karena kata merdeka bukanlah sebatas ritus tahunan melainkan ajakan untuk merefleksi.
Sejarah adalah identitas, dan ketidaktahuan akan sejarah merupakan ketidaktahuan akan jati diri atau krisis identitas. Pada masa awal negara ini dikenal dengan sebutan Nusantara yang di dalamnya berjejeran pulau-pulau dan hamparan lautan megah.
Tak jarang pula Bung Karno menyebutnya dengan istilah Archipelago atau Negara Kepulauan yang mengandung bias daratan atau Kekuasaan Lautan yang ditaburi pulau-pulau.
Kemudian saat pendudukan Belanda di Bumi Nusantara barulah kemudian berganti dengan nama Hindia Belanda sekaligus sebagai penegasan bahwa negara ini berada dibawah kekuasaan kolonialisme.
Istilah Indonesia baru dikenal pada awal abad ke-19 dan pertama kali digunakan dalam forum formal oleh Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda yang saat itu melakukan pledoi di meja hijau, dan setelah itu diperkenalkan pula oleh Soekarno di Hindia Belanda dalam sebuah tulisan Indonesia Menggugat.
Artinya perihal nama sebagai suatu bentuk identitas sangatlah bermakna dalam menyongsong gerakan nasionalisme sekaligus penegasan akan independensi kenegaraan, dan melalui itulah gagasan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai terasosiasikan.
Prinsipnya, alasan bergerak karena adanya ideologi gerakan dengan pegangan ruh identitas.
Sampainya Indonesia pada momentum kemerdekaan 17 Agustus 1945 seringkali dimaknai secara sempit sebagai sebuah hasil final perjuangan.
sehingga mengundang sikap pragmatisme yang menyebabkan padamnya semangat perjuangan, meskipun secara eksplisit kita telah terlepas dari segala agresi dan pendudukan bangsa lain.
Momentum kemerdekaan merupakan ajakan untuk merefleksi dan mengkaji kembali seberapa dalam kehangatan bernegara dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
“Mengatarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Kemerdekaan” merupakan salah satu penegasan dalam konstitusi negara bahwa sejatinya kita belum mendapatkan kemerdekaan yang sepenuhnya.
Maka dengan hadirnya berbagai fenomena kenegaraan yang mengandaikan kita sebagai tamu di tanah sendiri.
Berakhirnya kolonialisme menandakan hadirnya pola baru penjajahan, yakni neo-kolonialisme yang direkayasa sedemikian rupa untuk mengelabuhi pola pikir dengan iming-iming modernitas.
Sehingga tak lagi menyerang secara fisik melainkan menyusup dalam bentuk ideologi, sosial dan budaya.
Esensi kemerdekaan sejatinya terbebas dari segala belenggu yang ada, baik itu bergerak, berbicara dan berpikir.
Namun sampai hari ini berbicara dan berpikir yang sejatinya hak privat masih saja berada dalam bayang-bayang kuasa birokrat, sehingga kehangatan kemerdekaan masih jauh tergantung pada langit-langit imaji.
Sejatinya kemerdekaan bernegara tak mungkin terasa sebelum terpenuhinya kemerdekaan individu.
Penulis : Heri Afriady Firman, mahasiswa jurusan Hukum Tatanegara UIN Alauddin Makassar.
Ket : Sepenuhnya tanggung jawab penulis.