OPINI, Suara Jelata— Perbincangan yang berujung pada harapan oleh Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) pada pertengahan tahun 2014 dengan menggandeng universitas terbaik di Republik ini.
Pembahasan tersebut secara esensial merefleksi kembali kebangsaan dan keberagaman kita dengan menyusun Strategi Indonesia pada Tahun 2045 dengan menitikberatkan kepada isu peluang, tantangan dan keterbukaan kemajuan bangsa Indonesia
Sebenarnya perbincangan tersebut Ingin memastikan dikorespondensi pembagunan lebih jauh dan sangat berisinggugan dengan persoalan ideologis dan kebudayaan bangsa. Utamanya bagaimana kemudian generasi masa depan atau lebih dikenal sebagai era Melinial membaca secara sistematis paras ke-Indonesia-an dan ke-budaya-an kita dalam kurun waktu sekitar dua puluh tahun kemudian.
Melihat negara dari sudut paras yang berbeda dalam ruang lingkup demografis, tentunya tidak bisa dilepaskan dari melihat potensi sumber daya manusia yang dimiliki oleh suatu negara yang diolah dengan pemerintah ini, daripadanya lah dilihat potensi langsung akan memberikan pengaruh dalam proses pembangunan serta kemajuan bangsa ini ditangan pemuda masa depan, tak terkecuali bagaimana isu-isu Kenegaraan dan pluralitas dalam hal ini SARA.
Bangsa Indonesia dengan segala keberagamannya kita sepatutnya bersyukur karena saat ini sedang menikmati pembludakan jumlah penduduk produktif atau dikenal dengan istilah bonus demografis.
Dan sebagian besar diantaranya merupakan para pemuda yang memiliki misi, gagasan, kreativitas dan cita leluhur yang luar biasa, pun disamping itu juga terselip potensi konflik yang dilandasi oleh sentimen agama, etnis, golongan serta pengetahuan yang berujung pada ego sektarian.
Namun sontak berita terkini membuat terheran-heran soal diskriminasi yang dianggap dilakukan oleh ‘oknum’ ormas tertentu, persoalannya sudah pasti bisa ditebak terhadap pelecehan simbol Negara yaitu bendera merah putih.
Dianggapnya, itu adalah pelecehan negara sementara persoalan tersebut bukan tentang simbol negara tapi ini soal cinta terhadap NKRI.
TANDA TANYA untuk Indonesia adalah bagaimana menghadirkan cinta terhadap Papua terlebih khusus pada paras pikiran pikiran mahasiswa Papua yang berada di luar Papua. Mengapa ini penting, sebab cinta akan mempengaruhi prosesi tindakan seseorang terhadap apapun atas persoalan termasuk diskriminasi, Rmrasisme dan represif.
Menjaga keberagaman dan pluralisme
Ketika kita merefleksi arah gerak cita masa depan dari desain rancangan besar Indonesia tahun 2045, salah satu poin yang perlu diperhatikan (point of interest) yaitu kaitannya dengan bagaimana regenerasi masa depan memandang paras keberagaman sebagai etitas pada harapan masa depan.
Saat ini bisa dikatakan bangsa Indonesia sedang mengalami degradasi ideologis yang merupakan bahaya laten dan mampu mendistorsi kedirian sebuah bangsa dan negara.
Buktinya kejadian mahasiswa Papua yang berujung pada pembakaran Gedung DPRD Papua Barat dan Majelis Adat Papua Barat karena dianggap oleh masyarakat tak mampu menyelesaikan persoalan diskriminatif mahasiswa Papua di wilayah Jawa Timur.
Persoalannya kemudian, akar permasalahan di sana salah satunya disebabkan oleh para pemuda dan mahasiswa yang tidak lagi memiliki rasa kepemilikan (nasionalisme) kepada negara.
Untuk itu hadirkan nasionalisme dalam jiwa mereka tanpa harus merazia buku, rasisme, penembakan gas air mata serta ancaman para aparat penegak hukum.
Merujuk pada data riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada tahun 2010-2011, dengan mengambil responden sebanyak 993 siswa-siswi sekolah menengah, bahwa 50% responden menyetujui adanya tindakan kekerasan atas nama agama, 14,2% menyatakan setuju dengan aksi terorisme, dan 25,8% menyatakan Pancasila tidak lagi relevan sebagai dasar negara.
Apa yang menarik dari riset tersebut? Jawabannya adalah mereka yang menjadi responden dari riset tersebut yang tidak lain adalah para generasi muda bangsa Indonesia. Sementara disana harapan Indonesia tersandar, termasuk mahasiswa Papua yang menjadi saudara sebangsa dan setanah air.
Terlepas dari pro dan kontra apakah data tersebut bisa digeneralisasikan atau tidak, akan tetapi ketika para pemuda yang berbicara dan menampilkan fakta maka hal tersebut bukanlah sesuatu yang bisa dianggap main-main.
Negara dalam konteks ini harus segera mengambil respon dan langkah yang tepat untuk menanganinya, agar nantinya tidak dikatakan sebagai negara yang gagal. Karena salah satu tolok ukur keberhasilan suatu negara juga ditentukan oleh kesiapan-kesiapan sumber daya manusia yang akan mengelola negara, dan semua berawal dari bagaimana Negara menyiapkan generasi penerusnya.
Bangsa Indonesia dibesarkan dengan saling menjaga toleransi antar suku, etnis, agama, dan antar golongan. Kita ditakdirkan sebagai Negara multikultural, oleh karena itu bacaan atas pluralisme merupakan sesuatu yang sudah lumrah kita hadapi. Dan keanekaragaman atau kebhinnekaan inilah yang menjadi ciri khas dan karakter dari bangsa Indonesia.
Delapan puluh delapan tahun yang lalu melalui sebuah momentum revolusioner Sumpah Pemuda, bangsa ini telah mengakui adanya kesatuan di atas pijakan kebhinnekaan dan semuanya diinisiasi oleh para pemuda dari seluruh penjuru nusantara.
Merawat kebhinnekaan merupakan keniscayaan yang harus dipegang teguh oleh seluruh elemen bangsa, utamanya para pemuda sebagai generasi penerus.
Soekarno pernah dengan lantang mengatakan, “Beri aku 1.000 orang tua maka akan ku cabut Semeru dari akarnya, namun beri aku 10 pemuda niscaya maka akan ku guncang dunia“. Ini sebuah pertanda bahwa di tangan pemudalah bangsa dan negara ini akan berdiri atau roboh. Namun persoalannya, masihkah generasi muda Indonesia memiliki mentalitas sebagaimana dikatakan oleh Soekarno.
Tidak bisa dipungkiri, secara ideologis kita sedang bergulat dengan kekuatan besar dunia, di mana pertarungan tersebut membawa efek bagi gaya hidup (life style) para generasi muda. Tidak sedikit pemuda yang kehilangan jati dirinya sebagai generasi pendobrak, kritis, dan revolusioner.
Jika pada masa perjuangan, negara ini digerakkan oleh para revolusioner muda yang dalam usia mampu berpikir untuk kemerdekaan negara, maka saat ini justru seringkali berkebalikan, para pemuda lebih senang berpikir untuk kebaikan dirinya dan mudah terpancing oleh isu-isu yang berbau SARA.
Epilog
Negara telah menunjukkan political will-nya untuk menjaga marwah bangsa dengan konsen melindungi generasi muda melalui berbagai kebijakan ideologisnya, salah satunya dengan menyusun desain strategi Indonesia 2045.
Oleh karena itulah, sudah saatnya generasi muda kembali mengingat siapa jati dirinya dan melakukan tindakan yang kontributif bagi upaya perbaikan dan kesatuan bangsa pada masa depan.
Bagaimana pun juga peradaban adalah milik generasi muda dan hanya generasi muda yang berpegang teguh pada ideologi Pancasila, menghargai sesama, menjunjung toleransi dan sportif yang mampu mengambil tongkat estafet peradaban bangsa.
Mari merawat toleransi dan keadilan bagi semua, jika TIDAK maka biarkan yang terdiskriminasi merdeka. Jika wujud NKRI masih relevan dengan kondisi zaman kita wajib membangun sesuai amanah Pancasila pada pemuda dan siapa pun yang menjadi bagian Indonesia.
Selamat Dirgahayu Republik Indonesia Ke-74. Semoga Tanpa sekte, ego, rasisme dan paling penting semua Untuk Indonesia serta tak ada wilayah menjadi sentris.
Sesungguhnya kita menginginkan pemerintah serta siapapun yang menjadi bagian penting dari Indonesia untuk menyentuh persoalan bukan hanya terjebak pada simbol yang tak berujung pada substansi.
Terlahir di Indonesia itu takdir. Pertanyaan sudah terlahir kah Indonesia dihatimu?. Ataukah sempat mencintai, sebab kita tak pernah diajarkan cara mencintai yang baik.
Untuk Indonesia dan merah putih, kritisisme Itu bagian dari CINTA.
Penulis: Kasrum Hardin
Tulisan tersebut merupakan tanggung jawab penuh penulis