Opini

Idul Fitri: Dari Pandemi Hingga Utopia “Bumi Para Kesatria” Kabupaten Sinjai

×

Idul Fitri: Dari Pandemi Hingga Utopia “Bumi Para Kesatria” Kabupaten Sinjai

Sebarkan artikel ini
Penulis

OPINI, Suara Jelata— Lebaran di tengah pandemi virus corona terasa sangat berbeda, masyarakat tak bisa saling bersua. Mudik harus ditunda sebab covid-19 masih mewabah.

Namun, sebenarnya wabah yang menerjang negeri ini bukanlah hal baru, dalam sejarah bangsa Indonesia telah berulang kali kita harus berjuang melawan wabah.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Yang terparah adalah serangan mematikan pandemi Flu Spanyol yang diperkirakan menelan korban meninggal sekitar 17 juta–50 juta orang di dunia, menyebar dalam dua gelombang ke Hindia Belanda (kini Indonesia).

Seperti dikabarkan Koran Sumatra-Bode (10/12/1918), sebanyak 1.647 orang di Makassar meninggal selama 1–21 November 1918 akibat pandemi ini.

Saat ini, penduduk muslim di belahan timur Gunung Bawakaraeng yang terbentang dari Bulu Salaka yang merupakan tempat bagi para pencari suaka hingga Benteng Balangnipa yang menyimbolkan perjuangan yang tak pernah terlupa merasakan dampak dari wabah corona menjadikan Idul Fitri terasa hampa.

Teringat jelas dibenak kita, bagaimana masyarakat Sinjai yang selalu antusias melaksanakan buka puasa bersama hingga melaksanakan salat Idul Fitri secara berjamaah baik di masjid maupun di lapangan, kini pemandangan tersebut seolah hilang.

Tersisa situasi yang terpantau lengang tanpa adanya kegiatan keagamaan. Meski terasa berbeda, namun hari raya Idul Fitri tetaplah hari kemenangan bagi umat Islam yang penuh berkah dan pengampunan.

Sebulan lamanya berjuang melawan diri bersanding dengan pendemi, kini masyarakat Sinjai mesti berjuang melawan hasrat tanpa harus mengunjungi kerabat bahkan rekan sejawat.

Menyedihkan memang, seakan menjadi kesedihan yang menyayat, karena virus corona telah mengubah segalanya menjadi lebih berat.

Meskipun was-was, masyarat Sinjai tak perlu sampai kelewat batas. Negeri dengan sejumlah bakat pasti punya segudang siasat.

Dibawah “Nahkoda” Seto Gadhista Asapa kita berharap. Ia pasti punya hasrat karena tak tega melihat rakyatnya sampai melarat. Sesuai dengan semboyang “mabbulo sipeppa” kita harusnya sepakat, berjuang melawan wabah dengan kebersatuan yang terjalin erat.

Maka dari itu, mari kita doakan semoga virus covid-19 yang menyerang hampir seluruh penjuru negeri ini segera tamat dan terkubur dalam-dalam sebgaimana terkuburnya perjuangan Massalinri Dg. Mallira melawan “politik devide et empera” kolonialisme Belanda di Bumi para kesatria bernama Bumi Panrita Kitta.

Penulis: Khaerul Amri P. Maloloe, Pemuda Sinjai

Tulisan tersebut di atas merupakan tanggung jawab penuh penulis