Opini

OPINI: Kajian Cinta Perspektif Al-Qur’an

×

OPINI: Kajian Cinta Perspektif Al-Qur’an

Sebarkan artikel ini
Faridah, S.Kom.I., M.Sos.I. (Dok.Fatahillah)

OPINI, Suara Jelata— 14 Februari adalah hari yang banyak dinantikan oleh muda mudi karena dianggap sebagai hari perayaan kasih dan sayang. Penulis dalam tema ini tidak akan membincang asal muasal kenapa peringatan kasih dan sayang dijatuhkan pada tanggal 14 Februari karena bagi penulis setiap saat, detik demi detik, menit demi menit, jam, hari, bulan, tahun bahkan sepanjang masa adalah hari yang penuh dengan kasih sayang atau disebut juga dengan cinta.

Cinta, dewasa ini banyak sekali istilah yang terkait dengan kata cinta yang sering membuat terheran-heran seperti kata bucin. Ketika seseorang mengekspresikan rasa sayang kepada orang yang disayanginya dengan cara yang dianggap melebihi batas kewajaran atau dianggap sudah tidak rasional lagi, maka serta merta orang itu akan diberikan gelar bucin (budak cinta).

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Istilah bucin yang lagi trend tersebut membangkitkan keingintahuan yang lebih dalam tentang cinta dan segala hal ikhwal yang melingkupinya. Ada apa dengan cinta sehingga bisa menjadikan manusia atau pecinta menjadi budak karena cintanya.

Cinta dalam Bahasa Arab disebut dengan kata حب- حبا- حبا yang bermakna kasih atau mengasihi (Salim al-Halili, 2007). Dalam kamus, kata hubb berarti mengasihi atau mencintai. (Mahmud Yunus, 2010). Dalam kamus lain dijelaskan bahwa حب merupakan asal dari kata mahabbah yang terdiri dari huruf ha dan ba yang mempunyai tiga makna, yaitu (a) melazimi dan tetap, (b) biji dari sesuatu yang memiliki biji, dan (c) sifat keterbatasan.

Setelah dianalisis, defenisi pertama sesungguhnya mengandung makna bahwa melazimi sesuatu secara tetap akan menimbulkan keakraban yang kemudian membawa kepada persahabatan yang akhirnya dapat menimbulkan rasa cinta (al-mahabbah) atau keinginan untuk bersatu. (Abu al-Husain, 2002).

Menurut Stenberg, cinta merupakan bentuk emosi manusia yang paling dalam dan paling diharapkan. Ekspresi atas cinta tersebut dapat menjadikan manusia melakukan beragam tindakan seperti berbohong, menipu, mencuri dan bahkan membunuh atas nama cinta dan lebih baik mati daripada kehilangan cinta. Begitu dahsyatnya perihal yang disebut dengan cinta. Hal ini mengindikasikan bahwa cinta bisa menjadi motivasi perbuatan baik atau perbuatan buruk.

Cinta dalam pandangan Islam bukan sebuah kebebasan tanpa batas dan kemerdekaan tanpa tanggung jawab. Cinta adalah suatu bentuk metode pendidikan ilahi yang terkait dengan emosi dan perasaan, ruh iman dan amal kedudukan serta keadaan, jika yang dicinta tidak ada bersamanya maka tidak ubahnya jasad yang tidak memiliki ruh. (Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, 1998).

Di dalam Al-Qur’an ditemukan banyak ayat yang membahas tentang cinta, diantaranya pada Q.S. Al- Baqarah/2;165, yang terjemahnya adalah “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)”

Kata hubb dalam ayat di atas terulang tiga kali, Sayyid Qutub menafsirkan bahwasanya ada sebagian manusia yang menjadikan Tuhan tandingan selain Allah. Pada masa turunnya ayat ini Tuhan tandingan itu berupa batu-batu, pohon-pohon, bintang-bintang, malăikat, syaîthan, dan lain-lainnya.

Benda-benda tersebut sangat mereka cintai sehingga melebihi cintanya pada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Semua itu adalah syirîk, baik tingkatan yang samar maupun yang jelas. Adapun orang yang beriman, mereka lebih mencintai Allah dari pada apapun (Sayyid Quthub, 2004).

Quraish Shihab seorang ulama kontemporer menyampaikan bahwa pada Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 165, Allah memulai uraiannya dengan berfirman bahwa diantara manusia ada orang-orang yang menyembah apa yang dianggapnya tandingan-tandingan selain Allah; baik berupa berhala, binatang, maupun manusia biasa yang telah tiada atau pemimpin-pemimpin mereka.

Padahal tandingan-tandingan tersebut adalah manusia ciptaan-Nya juga. Bahkan manusia-manusia itu bukan hanya menyembahnya, tetapi mereka mencintai mereka yakni taat kepadanya serta bersedia berkorban untuknya, sebagaimana layaknya mereka mencintai Allah. Keadaan mereka berbeda dengan orang-orang yang beriman (Quraish Shihab, 2009).

Cinta orang-orang yang beriman kepada Allah sangatlah kuat, lebih mantap daripada cinta kaum musyrikin terhadap tuhan-tuhan atau sembahan-sembahan mereka. Hal ini karena sikap orang-orang beriman yang mencintai Allah swt tanpa pamrih. Cinta mereka lahir dari bukti-bukti yang mereka yakini serta pengetahuan tentang sifat-sifat Allah swt Yang Maha indah.

Orang-orang mukmin tidak melupakan Allah dalam keadaan apapun, senang atau susah, sedang orang-orang kafir baru mengingat Allah ketika mereka mengalami kesulitan tetapi jika kesulitan yang dialami telah teratasi mereka kembali lupa, seakan-akan mereka tidak pernah memohon kepada Allah swt. (Quraish Shihab, 2009).

Mencintai sebagai kata kerja dari kata cinta tampak dari sikap dan perilaku orang yang mencinta. Kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsu, menghindari menduakan cinta, meskipun hal itu terkait dengan kesenangan-kesenangan bahkan untuk sesuatu yang berupa kebutuhan hidupnya di dunia. Cinta dalam hal ini diidentikkan dengan pengorbanan (kemampuan untuk berkorban) dari orang yang mencintai demi yang dicintainya

Cinta yang dilandaskan pada petunjuk dalam Al-Qur’an dapat menjadi inspirasi dan motivasi dalam melakukan tindakan konstruktif. Cinta mampu mempersatukan umat manusia, menjadikan mereka mampu melewati banyak hal, melewati banyak rintangan dan bersatu padu dalam membangun peradaban. Karena itu mari senantiasa menebar kasih sayang (cinta) tanpa mengenal batas waktu.

Penulis: Faridah, S.Kom.I., M.Sos.I.
Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)
Fakultas Ushuluddin dan Komunikasi Islam (FUKIS)
Universitas Islam Ahmad Dahlan Sinjai

 

Tulisan tersebut di atas merupakan tanggungjawab penuh penulis