Opini

Filosofi Tokoh Pandhawa Lima

×

Filosofi Tokoh Pandhawa Lima

Sebarkan artikel ini
Pandhawa Lima. (Ilustrasi: Boobastis)

Suara Jelata Dalam pewayangan versi Mahabharata ada tokoh protagonis (tokoh baik) yaitu Pandhawa Lima. Pandhawa (kebanyakan ditulis Pandawa, tanpa huruf “h”) merupakan 5 (lima) anak dari Pandhu Dewanata, raja Astina. Pandhu Dewanata memiliki dua permaisuri, yaitu Dewi Kunthi Talibrata dan Dewi Madrim.

Dari permaisuri Dewi Kunthi Talibrata lahir 3 anak, yaitu: Puntadewa (Yudhistira), Werkudara (Bima), dan Janaka (Arjuna). Sedangkan dari Dewi Madrim, lahir anak kembar, yaitu: Nakula dan Sadewa. Sehingga jumlah anak Pandhu Dewanata berjumlah lima orang laki-laki, sehingga disebut Pandhawa Lima.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Wayang di Nusantara dikisahkan oleh Sunan Kalijaga yang kemudian dikemas menjadi kesenian tradisional untuk menyebarkan agama Islam utamanya di tanah Jawa. Cerita dalam wayang di Nusantara diambil dari cerita Mahabharata dan Ramayana.

Sebenarnya dua buku dengan dua pengarang yang berbeda, Kitab Mahabharata ditulis oleh Vyasa Krisna Dwipayana (India) sekitar tahun 400 Masehi. Sedangkan Kitab Ramayana ditulis oleh Resi Walmiki.

Namun di tangan Sunan Kalijaga bisa menjadi satu kisah pewayangan, di mana tokoh-tokoh dari kedua kisah dari kedua buku bisa bertemu satu dengan yang lain. Itulah salah satu kelebihan Sunan Kalijaga, yang menjadikan kesenian tradisional wayang sebagai tontonan sekaligus sebagai tuntunan.

Kemudian Filosofi Pandawa Lima itu apa? Dari tokoh ini, Sunan Kalijaga ingin menggambarkan sebagai lambang Rukun Islam yang berjumlah lima, yaitu Sahadat, Salat, Zakat, Puasa, dan Haji.

Sahadat dilambangkan Puntadewa (Yudhistira). Tokoh ini digambarkan selalu menunduk. Artinya mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT. Puntadewa memiliki ajian berupa Jamus Kalimasada (kalimat syahadat). Puntadewa disebut Satriya Getih Putih (Satria Darah Putih), karena dia tidak pernah berbohong. Artinya manusia itu sejatinya hamba Allah dan hatinya tidak dapat berbohong, yang membuat bohong adalah nafsunya.

Salat dilambangkan Werkudara (Bima). Dia tidak bisa “basa” (berkata dengan bahasa halus, Jawa: krama), selalu ngoko (berbahasa lugas, seperti berbicara dengan teman sebaya) kepada siapa pun, dan Werkudara selalu berdiri, tidak bisa duduk. Artinya salat itu wajib bagi siapa pun, tanpa pandang bulu. Tua, muda, pria, wanita, bila sudah akil baligh (dewasa) wajib menjalankan salat lima waktu. Dalam keadaan apa pun salat harus didirikan, terkecuali sudah saatnya disalati (mati).

Zakat dilambangkan Janaka atau Arjuna. Tokoh ini disebut Lelananging Jagat atau lelaki paling tampan di jagat raya. Artinya, zakat merupakan perbuatan wajib yang sangat bagus setelah salat 5 waktu. Karena zakat untuk membersihkan harta kita, perbuatan kita, sekaligus menolong sesama hamba Allah SWT. Jadi zakat itu perbuatan wajib yang “tampan” karena bermanfaat untuk diri kita pribadi juga untuk orang lain.

Puasa dilambangkan Nakula dan Haji dilambangkan Sadewa, kedua tokoh ini kembar, dan sama-sama tampannya. Filosofinya, Puasa dan Haji memiliki kesamaan dan derajatnya, sama-sama wajib dilakukan bagi umat Islam yang mampu menurut syariat agama Islam.

Itulah Filosofi Pandawa Lima yang perlu kita ketahui, terutama bagi kaum muslimin dan muslimah. Agar lebih memahami bahwa kesenian Wayang merupakan kesenian adiluhung bangsa Indonesia. Kesenian yang menjadi tontonan sekaligus tuntunan, memberi hiburan sekaligus memberi ilmu, yang bermanfaat sebagai bekal dalam menjalani kehidupan di dunia. (*)

Narwan, S.Pd

Penulis, tinggal di Magelang

Jawa Tengah