MAGELANG JATENG, Suara Jelata – Nikmatnya sambal tentu tidak lepas dari alat untuk menghaluskannya, dan alat ini menjadi kunci cita rasanya. Alat penghalus sambal atau bumbu dapur dikenal dengan nama cobek, asal kata dari cowek dalam bahasa Jawa dan piranti pasangannya yaitu ulekan atau munthu (Jawa).
Cobek dan ulekan yang tahan lama terbuat dari batu kali yang berhulu di gunung api tak aktif. Karena batu tua memiliki karakter keras dan teksturnya lebih padat dibanding batu muda dari gunung api aktif. Di Magelang, Jawa Tengah, baru tua banyak ditemui di aliran sungai berhulu di gunung Merbabu atau Sumbing.
Salah satu perajin cobek batu tua yang terkenal di Magelang adalah Pak Trubus (54) yang tinggal di Dusun Pending Lor, Desa Pancuranmas, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Pemilik nama asli Samsudin ini mahir membuat cobek sejak kecil, belajar dari almarhum ayahnya, Muhari.
Trubus mengaku, keterampilan membuat cobek itu merupakan keahlian turun temurun di daerahnya. Jauh sebelum kakeknya bernama Mbah Tohari sudah ada, kemudian menurun ke ayahnya (Muhari), dan kepada dirinya hingga kini. Menurut Trubus, dia adalah generasi ketiga yang menekuni pekerjaan memproduksi cobek batu tua.
“Batu tua ini lebih keras dan padat, sehingga ketika dibuat cobek maupun munthu lebih kuat dan tahan lama. Tidak mudah patah dan jangka ausnya lebih panjang,” tutur Trubus di rumahnya, Sabtu (10/02/2024).
Trubus mengisahkan awalnya dia memasarkan cobek batunya hingga luar daerah, seperti Semarang dan Purworejo. Namun seiring bertambah usia dan hasil karyanya semakin dikenal masyarakat luas, kini dia cukup tinggal di rumah dan terus memproduksi cobek.
“Para bakul (tengkulak) datang membeli dalam jumlah tertentu, ada yang sudah langganan. Selain itu juga datang konsumen yang membeli eceran,” terangnya.
Dalam mendapatkan bahan baku, Trubus mengaku mengambil batu tua dari Kali Elo yang dekat rumahnya. Namun lebih sering mengambil dari sungai yang berhulu di gunung Merbabu, seperti di wilayah Kecamatan Tegalrejo dan Grabag.
Biasanya hari Senin sampai Kamis digunakan untuk mencari bahan baku batu tua, dan hari Jumat sampai Minggu digunakan Trubus untuk memproduksi cobek dan ulekan di rumahnya. Batu yang diambil dari sungai sudah dibuat setengah jadi di lokasi pengambilan.
“Untuk satu cobek bisa selesai dalam waktu setengah jam. Namun untuk ukuran besar bisa lebih dari dua jam. Dari bahan setengah jadi hingga barang jadi (finishing),” tutur Trubus.
Terkait harga, Trubus mengatakan tergantung ukuran atau diameter cobek yang dimaksud. Dia merinci untuk cobek kecil diameter 15 cm harga Rp 50.000 per pasang (cobek+ulekan), diameter 21 cm Rp 60.000. Sedangkan cobek dengan diameter 24 cm harga Rp 70.000, diameter 30 cm harga Rp 120.000.
“Yang besar diameter 35 cm harga Rp 150.000, diameter 40 cm harga Rp 250.000, dan dengan diameter 50 cm harganya Rp 400.000 per set. Jadi itu harga cobek berikut munthu-nya,” kata Trubus merinci.
Untuk mencari lokasi produksi cobek batu tua atau rumah Trubus ini sangat mudah. Bahkan bisa ditelusuri menggunakan google map dengan mengetik: Trubus Cobek Batu Tua Pending Lor. Di depan rumahnya juga terpampang papan nama.
Cobek batu tua buatan Trubus terkenal awet dibanding cobek batu muda, sehingga diminati para ibu untuk membuat sambal atau menghaluskan bumbu saat memasak. Meski sekarang ada peralatan modern untuk menghaluskan, namun membuat sambal menggunakan cobek batu diyakini rasanya lebih sedap. (Nar)