Suara Jelata – Generasi saat ini yang sering disebut generasi milenial yang lahir di era digital belum banyak mengetahui bahwa setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day). Padahal wawasan tentang Bahasa Ibu menjadi hal peting bagi kelangsungan pelestarian Bahasa Ibu itu sendiri, di masing-masing negara maupun suku bangsanya.
Bahasa Ibu adalah bahasa yang pertama kali dipelajari seseorang sejak kecil secara alamiah dan menjadi dasar sarana komunikasi serta pemahaman terhadap lingkungannya. Menurut data di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, disebutkan bahwa Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah bahasa terbanyak kedua di dunia. Untuk itu, pemerintah bersama pemerintah daerah dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk melindungi bahasa daerah sebagai bagian dari kekayaan takbenda yang sangat berharga dan tidak ternilai harganya.
Sekelumit sejarah tentang Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day). Diketahui, sejak tahun 1999, UNESCO menetapkan Hari Bahasa Ibu Internasional setiap tanggal 21 Februari. Di mana, penetapan ini dianggap penting karena dapat menjadi tonggak kesadaran suatu bangsa untuk menjaga bahasa ibu-nya kepada generasi penerus pada setiap bangsa.
Hari Bahasa Ibu Internasional dicanangkan oleh Konferensi Umum Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO) pada bulan November 1999. Ide untuk merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional merupakan inisiatif dari Bangladesh. Selanjutnya, Majelis Umum PBB menyambut baik proklamasi hari tersebut dalam resolusinya tahun 2002.
Pada tanggal 16 Mei 2007, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam resolusinya A/RES/61/266 menyerukan kepada Negara-Negara Anggota “untuk memajukan pelestarian dan perlindungan semua bahasa yang digunakan oleh masyarakat di dunia”. Dengan resolusi yang sama, Majelis Umum mencanangkan tahun 2008 sebagai Tahun Bahasa Internasional, untuk memajukan kesatuan dalam keberagaman dan pemahaman internasional, melalui multibahasa dan multikulturalisme dan menunjuk UNESCO sebagai lembaga utama pada tahun tersebut.
Dewasa ini terdapat peningkatan kesadaran bahwa bahasa memainkan peran penting dalam pembangunan, dalam menjamin keragaman budaya dan dialog antarbudaya. Selain itu juga dalam memperkuat kerjasama dan mencapai pendidikan berkualitas untuk semua. Utamanya dalam membangun masyarakat pengetahuan yang inklusif dan melestarikan warisan budaya, dan dalam memobilisasi politik. Serta keinginan untuk menerapkan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi untuk pembangunan berkelanjutan.
Memang saat ini perlu pendidikan multibahasa dalam rangka mengembangkan komunikasi internasional dalam masyarakat global. Namun bukan berarti harus meninggalkan Bahasa Ibu, karena merupakan kekayaan takbenda bagi suatu bangsa, termasuk bangsa Indonesia.
Harus disadari bahwa kemajuan teknologi informasi memberi pengaruh besar terhadap Bahasa, baik secara positif maupun negatif. Secara positif, penyebaran suatu bahasa yang merupakan bagian dari budaya, menjadi lebih mudah dan cepat. Negatifnya, banyak penyebaran yang cenderung merusak bahasa, berkembangnya bahasa atau istilah-istilah yang sering disebut “Bahasa Prokem”.
Kata-kata maupun istilah yang berasal dari Bahasa Ibu, terkadang diplesetkan menjadi kata-kata yang cenderung tidak memiliki arti atau hanya diketahui oleh kalangan atau komunitas sosial tertentu. Penulisan dan penuturan Bahasa Ibu oleh generasi digital sering kurang pas atau bahkan salah. Contoh kecil, kata “mata” dalam Bahasa Jawa tetap ditulis “mata” meski pengucapannya “moto” di mana huruf “o” dibaca seperti dalam kata “tokoh” bukan huruf “o” seperti dalam kata “toko”.
Kesalahan penulisan dan penuturan Bahasa Jawa sebagai Bahasa Ibu itu berkembang secara salah kaprah melalui berbagai media sosial, bahkan banyak dijumpai dalam lirik-lirik lagu berbahasa Jawa. Sangat memprihatinkan bila hal itu berkelanjutan.
Pendidikan multibahasa: pilar pembelajaran dan pembelajaran antargenerasi
Hari Bahasa Ibu Internasional, yang pertama kali dicanangkan oleh UNESCO dan kemudian diadopsi oleh Majelis Umum PBB, menggarisbawahi peran bahasa dalam mendorong inklusi dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Kebijakan pendidikan multibahasa, yang disorot dalam tema tahun 2024 “Pendidikan multibahasa – pilar pembelajaran dan pembelajaran antargenerasi”, sangat penting untuk pendidikan inklusif dan pelestarian bahasa asli.
Dengan memulai pendidikan dalam bahasa ibu kepada siswa dan secara bertahap memperkenalkan bahasa lain, hambatan antara rumah dan sekolah dapat dijembatani, sehingga memfasilitasi pembelajaran yang efektif.
Masyarakat multibahasa dan multikultural berkembang melalui pelestarian bahasa mereka, yang berfungsi sebagai penyalur pengetahuan tradisional dan warisan budaya. Namun, keragaman bahasa menghadapi ancaman yang semakin besar seiring dengan semakin banyaknya bahasa yang hilang.
Saat ini, 40% populasi global tidak memiliki akses terhadap pendidikan dalam bahasa ibu mereka, suatu angka yang melebihi 90% di wilayah tertentu. Penelitian menggarisbawahi manfaat penggunaan bahasa asli pelajar dalam pendidikan, mendorong hasil belajar yang lebih baik, harga diri, dan keterampilan berpikir kritis. Pendekatan ini juga mendukung pembelajaran antargenerasi dan pelestarian budaya.
Pendidikan multibahasa tidak hanya mendorong masyarakat inklusif tetapi juga membantu melestarikan bahasa non-dominan, minoritas, dan asli. Hal ini merupakan landasan untuk mencapai akses yang adil terhadap pendidikan dan kesempatan belajar sepanjang hayat bagi semua individu.
Bahasa, dengan implikasi kompleksnya terhadap identitas, komunikasi, integrasi sosial, pendidikan dan pembangunan, mempunyai kepentingan strategis bagi manusia dan planet bumi. Namun, akibat proses globalisasi, mereka semakin terancam, atau bahkan hilang sama sekali. Ketika bahasa memudar, kekayaan keragaman budaya di dunia pun ikut memudar. Peluang, tradisi, ingatan, cara berpikir dan berekspresi yang unik pun juga hilang, padahal itu merupakan sumber daya berharga untuk menjamin masa depan yang lebih baik.
Setiap tahun sebuah bahasa hilang dan membawa serta seluruh warisan budaya dan intelektual. Setidaknya 45% dari sekitar 7.000 bahasa yang digunakan di dunia terancam punah . Hanya beberapa ratus bahasa yang benar-benar mendapat tempat dalam sistem pendidikan dan domain publik, dan kurang dari seratus bahasa yang digunakan di dunia digital.
Masyarakat multibahasa dan multikultural ada melalui bahasa mereka, yang menyebarkan dan melestarikan pengetahuan dan budaya tradisional secara berkelanjutan. Hal ini menjadi tantangan bersama untuk diwariskan ke generasi berikutnya, termasuk generasi digital sekarang ini memiliki kewajiban melestarikan Bahasa Ibu di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi dan berkembangnya media sosial.
Perlu digarisbawahi bahwa Hari Bahasa Ibu Internasional diperingati setiap tahun untuk mempromosikan keragaman bahasa dan budaya serta multibahasa. Diharapkan keberagaman budaya dan Bahasa di Indonesia pun dapat dipromosikan ke kancah internasional, sehingga harus tetap ada penuturnya, secara baik dan benar. (*)
Narwan, S.Pd
Penulis, tinggal di Magelang