Suara Jelata – Bangsa Indonesia layak bangga dengan berbagi kekayaan maupun potensi yang dimiliki. Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki berbagai macam budaya yang berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia tersebar dari Sabang sampai Merauke yang menandakan akan kekayaan potensi budaya yang dimiliki.
Kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas dari suatu daerah yang membedakan dengan daerah lainnya. Dengan kata lain, kebudayaan dapat dimaknai sebagai jati diri suatu bangsa.
Kebudayaan dapat diyakini sebagai sebuah proses kehidupan suatu bangsa untuk menempatkan kapasitasnya dalam pranata sosial yang konsisten dan berkesinambungan. Hal ini juga ditegaskan oleh Kontjaraningrat (1979) yang mendefinisikan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan dalam pola pikir dan pola tindak,serta hasil karya manusia dalam hidup bermasyarakat yang diperoleh dengan proses belajar secara terus menerus.
Dalam kehidupan keseharian, manusia tidak akan lepas dari kebudayaan, karena dalam tataran proses, manusia adalah pencipta dan pengguna kebudayaan tersebut. Manusia dapat hidup karena adanya eksistensi kebudayaan. Sedangkan kebudayaan akan terus dapat hidup dan berkembang manakala manusia mau melakukan preservasi kebudayaan sampai tataran praktis.
Mengingat begitu beragamnya kebudayaan di Indonesia, kiranya potensi tersebut perlu menjadi perhatian utama. Kebudayaan sudah saatnya mendapat prioritas untuk menjadi landasan pembangunan, termasuk menyongsong visi Indonesia Emas 2045.
Namun asumsi publik saat ini, masih condong menengarai bahwa kebudayaan hanya berkutat pada aspek kesenian. Padahal sebetulnya kebudayaan merupakan kompilasi dari berbagai institusi dan pranata dalam komunitas dengan paradigma baru yang berkelindan dengan sektor-sektor lain.
Kementerian Kebudayaan
Mengingat betapa kompleks dan urgensinya peran kebudayaan sebagai pilar pembangunan, kembali wacana pembentukan Kementerian Kebudayaan kembali menghangat setelah sempat disinggung dalam debat kelima calon presiden Pemilu 2024 pada awal Februari lalu. Pada debat calon atau wakil presiden sebelumnya atau musim kampanye baik calon legislatif (DPR dan DPRD) maupun calon pejabat eksekutif yang jarang disentuh sebagai materi kampanye adalah masalah kebudayaan.
Kalau itu muncul, hanya sebatas kulitnya. Belum terungkap secara holistik tentang arti dan peran kebudayaan, melainkan hanya sebatas kesenian saja. Tidak sampai pada dialektika mengenai seluruh aspek dan unsur yang terkandung dalam kebudayaan.
Diskursus atau dialektika pembentukan kementerian kebudayaan sebenarnya sudah bergulir lama. Sejak Indonesia merdeka atau berusia empat setengah bulan, yaitu pada tanggal 31 Desember 1945 di Sukabumi, Jawa Barat, sejumlah budayawan, tokoh masyarakat, dan para seniman menggelar Musyawarah Kebudayaan. Mereka sepakat untuk mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah agar segera membentuk Kementerian Kebudayaan yang berdiri sendiri.
Rekomendasi tersebut belum pernah terwujud. Mulai dari tahun 1948 ketika Kongres Kebudayaan pertama di Magelang, kembali usulan pembentukan Kementerian Kebudyaan dipertegas kembali. Walaupun usulan tersebut belum membuahkan hasil, namun gaungnya dalam setiap forum diskusi selalu digulirkan terus menerus tanpa mengenal lelah.
Ruang lingkup kebudayaan yang sangat luas, menuntut lahirnya Kementerian sendiri untuk mengelola secara lebih intensif. Usulan tersebut kembali mengemuka dan disuarakan dengan gencar pada Kongres Kebudayaan Indonesia akhir 2023. Hal senada juga muncul dalam Musyawarah Nasional Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan tahun lalu (Tatang Mulyana Sinaga, 2024).
Apabila dikaji secara akuratif, sudah saatnya Indonesia menempatkan kebudayaan dalam kementerian sendiri. Hal itu cukup beralasan, mengingat potensi aset kebudayaan yang dimiliki Indonesia. Dengan menempatkan seluruh aset dan sumber daya yang dimiliki dalam satu atap akan lebih memudahkan dan mengefektifkan dalam tata pengelolaannya, sehingga lebih taktis, strategis, dan fokus.
Kondisi riil di lapangan terutama di daerah memang menunjukkan hal yang kurang efisien. Para seniman apabila akan melakukan proses kreatif perlu melakukan koordinasi dengan beberapa institusi sesuai dengan kewenangannya. Untuk urusan pelestarian para seniman perlu koordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan untuk pengembangan proses kreatif seni yang produknya memiliki nilai ekonomi perlu berkoordinasi dengan Dinas Pariwisata. Sementara apabila produknya berupa karya visual, seperti kerajinan, batik, wastra, dan lain-lain perlu berkoordinasi dengan Dinas Perindustrian.
Kondisi demikian akan lebih efektif ditangani dalam satu atap, sehingga pengelolaannya dapat lebih efisien. Di samping itu, para pelaku budaya juga akan lebih mudah koordinasi karena tidak harus memilah-milahkan produk dari karya yang dihasilkan dengan berkoordinasi dengan beberapa institusi yang kadang prosedurnya juga tidak sama antar institusi. Ada yang mudah, tetapi ada juga yang membutuhkan proses dalam waktu cukup lama.
Di samping itu, Kementerian Kebudayaan juga memerlukan sumber daya manusia profesional sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Untuk meningkatkan kompetensi SDM kebudayaan profesional perlu dilakukan melalui Lembaga Sertifikasi Profesi Bidang Kebudayaan yang sebarannya bisa dilakukan sampai ke daerah.
Hal ini perlu dilakukan, karena di banyak daerah, tenaga kebudayaan yang ditempatkan di institusi kebudayaan, banyak yang tidak sesuai dengan disiplin ilmunya, sehingga kinerja pun tidak bisa optimal. Hal ini yang perlu menjadi perhatian serius, apabila kementerian kebudayaan bakal dibentuk.
Gerakan Kebudayaan
Mengingat pentingnya Kementerian Kebudayaan tersebut kiranya dapat menjadi gerakan kebudayaan bersama agar semua komponen dalam masyarakat mendukung secara optimal. Di samping itu, pemerintah juga perlu memfasilitasi agar tujuan tersebut dapat dicapai.
Karena perlu disadari, bahwa untuk memajukan kebudayaan sebagaimana amanat UU No. 5 Tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan, perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan yang tidak bisa diputus oleh siklus lima tahunan saat pergantian rezim kekuasaan. Sebagaimana negara Korea Selatan yang tetap konsisten pada tujuannnya menjadi negara adikuasa dalam industri berbasis kebudayaan dan kreativitas.
Kembali ditegaskan bahwa, pembentukan Kementerian Kebudayaan menjadi sangat penting dan mendesak. Pembentukan ini akan menjadi solusi dari keterbatasannya selama ini, di antaranya kurangnya kesadaran dan partisipasi publik, kendala implementasi kebijakan, kendala keterbatasan sumber daya, serta banyak kendala lainnya.
Di samping itu, pembentukan Kementerian Kebudayaan akan dapat lebih memantik daerah-daerah di Indonesia untuk lebih fokus mengurus kebudayaan serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Apabila komitmen ini sudah menjadi gerakan bersama yang saling menguatkan, dapat diyakini Indonesia dapat memujudkan impiannya menjadi negara adidaya kebudayaan. Sebagaimana pesan Bung Karno dalam amanat Trisakti untuk menjadikan Indonesia ke depannya sebagai bangsa berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari dalam ekonomi, dan mandiri secara politik. (*)