Suara Jelata – Kurang lebih sepuluh hari lagi, akan dilaksanakan Pilkada secara serentak di seluruh Indonesia, termasuk di Provinsi Maluku Utara. Ada pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati dan pemilihan walikota-wakil walikota. Berkaitan dengan itu, kiranya penting pula kita melihat pilkada itu dalam perspektif “teologis”, di samping tinjauan-tinjauan lain, yang sudah lazim dilakukan.
Tentu setiap calon yang berlaga dalam pilkada ingin terpilih, apakah menjadi gubernur dan wakil gubernur, atau menjadi bupati dan wakil bupati atau menjadi walikota dan wakil walikota. Harapan dan keinginan seperti itu merupakan hal yang wajar dan lazim. Dan memang setiap orang harus memiliki optimisme untuk bisa meraih suatu keberuntungan atau kemenangan, yang sedang diusahakan serta diperjuangkannya.
Meskipun demikian, sangat penting untuk diketahui dan disadari, bahwa sesungguhnya “tidak ada seorangpun yang bisa mengetahui dengan pasti, apa yang akan terjadi atau yang akan dialaminya besok atau pada waktu yang akan datang”. Tidak ada seorang pun dari cagub-cawagub, cabup-cawabup dan calon walikota-wakil walikota, beserta para pendukung mereka masing-masing, yang bisa mengetahui dengan pasti, siapakah di antara mereka yang akan menjadi pemenangnya. Apa pun yang akan datang dan belum terjadi, apakah itu keberuntungan atau kerugian, apakah bahagia atau derita, merupakan sesuatu yang gaib, yang masih menjadi rahasia, yang tidak diketahui oleh manusia secara pasti, dan hanya diketahui oleh Allah SWT.
“Tidak ada seorangpun yang mengetahui (dengan pasti), apa yang akan dilakukannya esok.” (QS. Luqman (31) : 34). Siapa yang akan terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota, sudah ada dalam ketetapan atau takdir Allah.
“Sebab, setiap sesuatu yang akan terjadi di bumi atau yang akan dialami oleh manusia, keberuntungan ataukah kerugian, semuanya telah tertulis atau telah ditetapkan dalam takdir Allah, sebelum Dia mewujudkan atau menjadikannya. (QS. al-Hadid (57) : 22). “Juga tidak ada suatu keberuntungan yang akan diraih atau kerugian dan bencana yang akan menimpa, kecuali dengan izin Allah. (QS. al-Taghabun (64) : 11).
“Takdir Allah” ibarat benteng yang sangat kokoh, yang tidak dapat diterobos oleh keinginan dan upaya manusia seb sar apapun. Seorang ulama besar bernama Syaikh Ibnu Athaaillah al-Sakandari berkata: “Sawabiqul himami laa takhriqu ashwaaral aqdaari” (Semangat yang sangat besar, tidak mungkin bisa menembus kokohnya benteng takdir).
Karena itulah, jika kita menginginkan suatu keberuntungan (kemenangan), dan semua orang bersatu serta bahu-membahu membantu agar kita mendapatkan keberuntungan itu, niscaya kita tidak akan mendapatkannya, kecuali jika Allah SWT telah menetapkan keberuntungan itu untuk kita. Sebaliknya, jika kita ingin terhindar dari suatu kerugian, dan semua orang bersatu serta bahu-membahu menolong, agar kita tidak tertimpa kerugian itu, niscaya kita tidak akan bisa terhindar darinya, kecuali Allah telah menetapkan kita tidak tertimpa kerugian itu. (Berdasarkan hadits sahih, riwayat Tirmidzi dari Abdullah bin Abbas).
Apabila kita mendapatkan suatu keberuntungan, atau sebaliknya terhindar dari suatu kerugian, sebagaimana yang kita inginkan dan kita usahakan, maka yang demikian itu “Karena ia bersesuaian dengan kehendak dan ketetapan atau takdir Allah SWT.”
Prinsipnya, “Jika kita menginginkan dan Allah berkehendak terjadi, maka pasti terjadi. Jika kita menginginkan tapi Allah berkehendak tidak terjadi, pasti tidak akan terjadi. Jika kita tidak menginginkan, tapi Allah berkehendak terjadi, pasti terjadi.”
Tapi iman pada “kemutlakan takdir Allah” sama sekali tidak meniadakan kerja atau usaha, justru sebaliknya, ia mengharuskan usaha atau kerja keras dan kesungguhan. “Berusaha (bekerja)-lah kamu. Setiap orang akan dimudahkan menuju apa yang telah diciptakan (ditakdirkan) untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam konteks kontestasi politik, boleh jadi itu yang biasa disebut taktik dan strategi, kemampuan adu gagasan dan keberhasilan meyakinkan orang banyak tentang kehebatan gagasan, juga kemampuan menarik simpati untuk memperoleh dukungan sebesar-besarnya. Dan salah satu cara sukses untuk itu adalah, “strategi merangkul, bukan memukul.”
Jika Anda “merangkul”, maka orang yang jauh akan mendekat. Tapi jika Anda “memukul”, maka orang dekatpun, bisa saja menjauh. Ajaklah dengan cinta, sebab hati akan terpanggil bila disentuh dengan cinta. Bila Anda membenci, maka orang akan menghindar dan pergi meninggalkan Anda. Bahkan mencintai dan menyayangi sesama yang ada di bumi, akan mengundang datangnya kasih sayang dan rahmat dari langit. “Orang-orang yang menyayangi akan disayang oleh Allah yang Maha Pengasih. Sayangilah penghuni bumi, maka penghuni langit akan sayang kepadamu.”
Apabila kita telah berusaha keras untuk meraih suatu keberuntungan dan kemenangan, tapi gagal dan belum beruntung, maka sesungguhnya kegagalan itu, bukanlah kekalahan mutlak. Ada sebuah ungkapan populer yang berbunyi: “Kegagalan adalah sukses yang tertunda.”
Apa yang tidak kita sukai, belum tentu pasti buruk, boleh jadi di balik itu ada kebaikan. Sebaliknya, apa yang sangat kita sukai, belum tentu pasti baik, boleh jadi dibalik itu ada keburukan. Sebagaimana tuntunan Ilahi: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu sangat mencintai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah (2) : 216).
“Kadang-kadang keberuntungan dan kebahagiaan bersembunyi di balik derita, sebagaimana seringkali kerugian dan penderitaan bersembunyi di balik kesenangan dan kebahagiaan,” demikian ucapan Dr. Murtadha Muthahhari.
Siapapun yang nanti terpilih dari para calon yang ikut berkontestasi dalam Pilkada, tentu telah bertekad akan memajukan daerah yang dipimpinnya, apakah itu provinsi ataupun kabupaten dan kota. Dan salah satu modal penting untuk sukses membangun dan memajukan daerah adalah persatuan, kebersamaan dan kerjasama. Kalau diibaratkan pohon, maka pohon persatuan itu tidak akan tumbuh, jika bibitnya adalah kebencian, permusuhan, sangka buruk, fitnah, gunjing, mencela, mencerca dan lain-lain. Tapi pohon persatuan akan tumbuh kokoh, dengan cinta, kasih sayang, saling mengenal, saling menghargai, bekerjasama dan tolong-menolong.
“Wahai manusia. Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling kenal-mengenal.” (QS. al-Hujurat (49) : 13).
Demikian. Semoga bermanfaat.
Penulis:
Ustadz M. Rusli Amin
Muballigh dan Penulis Buku
tinggal di Maluku Utara