Penulis: Eril, S.Pd,. M.H(Ketua bidang Hukum dan HAM Pemuda Muhammadiyah Kab. Sinjai/Dosen Hukum Pidana Islam UIAD)
Opini—Politik transaksional adalah suatu bentuk transaksi atau perjanjian antar dua pihak yang saling mempunyai kebutuhan terutama pada praktik politik dimana terdapat proses ada yang memberi dan menerima sesuatu baik berupa materi maupun non materi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Salah satu problem dalam dalam pemilihan langsung, baik pemilihan leigslatif maupun eksekutif adalah maraknya politik transaksional.
Politik transaksional merupakan salah satu masalah serius dalam setiap pemilihan umum di Indonesia.
Dalam setiap even penyelenggaraan pemilu selalu ditemukan pelanggaran berupa politik transaksional.
Bahkan di beberapa daerah politik transaksional menjadi suatu hal yang biasa dan diterima.
Hal ini didukung oleh data dari Lingkaran Survei Indonesia (2014) dalam survei nasional terhadap 1890 sampel yang tersebar di seluruh Indonesia, hasilnya menunjukkan bahwa sikap responden terhadap adanya praktik politik transaksional sebesar 57% menganggap hal tersebut adalah wajar dan tidak akan dilaporkan.
Hasil tersebut sejalan dengan temuan oleh Lembaga Indikator Politik Indonesia (2013) dimana hasilnya toleransi pemilih di 39 dapil terhadap politik uang cukup tinggi yaitu sebanyak 41,5% pemilih menilai praktik politik transaksional sebagai suatu kewajaran dan hanya 57,9% yang menilai politik transaksional tak bisa diterima.
Dalam pilkada serentak juga ditengarai pula dengan adanya fenomena politik biaya tinggi sebagai salah satu konsekuensi yang harus ditanggung oleh partai politik, bila calon yang diusungnya ingin menang dalam pemilu.
Adanya politik biaya tinggi ini hanya akan melahirkan politik plutokrasi, yakni sistem politik yang hanya menempatkan orang-orang dengan kekuatan finansial yang besar yang akan terpilih.
Dalam sistem seperti ini, parpol menetapkan kriteria bakal calon terpilih yang akan diusungnya menjadi calon kepala daerah adalah seseorang yang memiliki kekuatan logistik yang besar.
Sementara calon yang tidak memiliki kemampuan logistik yang kuat, walaupun memiliki integritas dan kemampuan memimpin daerah, tetap saja akan tersingkirkan dalam peta politik.
Bentuk-Bentuk Politik Transaksional yang sering terjadi adalah, Pemberi dan Penerima Politik Uang, Modus dan Bentuk Praktek Politik Uang, Pola Penyaluran Politik Uang Pola penyaluran politik uang
Politik Transaksional menjadikan pemilihan umum sebagai ajang bertransaksi antara kandidat dengan pemilihnya, memiliki kemudaratan yang besar.
Antara lain, yaitu perilaku korupsi kandidat terpilih, transaksi materil menjadi investasi bagi para caleg yang tidak terbatas sehingga keberhasilan menduduki kursi parlemen menjadi ajang untuk mengembalikan modal investasi ini berikut keuntungan-keuntungannya.
Hal ini membuat mereka memainkan anggaran yang memang menjadi tupoksinya, anggaran dari pemerintah untuk program-progam kesejahteraan rakyat menjadi lebih besar, namun mengalami kebocoran dan salah sasaran karena dikorupsi oleh penyetuju anggaran (DPR).
Mudarat lain, yaitu biaya politik menjadi mahal dan tidak linear dengan kualitas orang-orang yang terpilih, lembaga legislatif bisa jadi hanya akan diisi oleh pemilik modal besar dan tidak memikirkan kepentingan rakyat kecuali apabila kepentingan mereka juga terakomodasi.
Mudarat lainnya, yaitu kulturasi budaya materialistik, ada uang ada suara, sehingga dapat mengikis nilai-nilai luhur yang telah tertanam pada diri bangsa ini, seperti keikhlasan, kejujuran dan nasionalisme.
Berdasarkan kaedah dalam hukum Islam al dararu yuzalu yang berarti kemudaratan harus dihilangkan, maka politik transaksional termasuk praktek-praktek yang harus dihilangkan dalam pemiilihan/pemilu.
Politik transaksional hakikatnya yaitu sogok menyogok antara calon anggota legislatif atau kandidat pemimpin dengan pemilihnya yang dihubungkan oleh tim sukses masing-masing calon atau koordinator para pemilih.
Rasulullah SAW mengancam pelaku sogok dan penerimanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru ra. bahwa Rasulullah saw. melaknat pemberi dan penerima sogok, juga diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Auf RA, “Pemberi dan penerima sogok tempatnya di neraka” (Musnad al-Bazzar).
Rasulullah SAW sudah menjelaskan secara langsung hukum dari politik transaksional ini, yaitu haram.
Keharamannya berlaku atas tiga pihak, yaitu pemberi, penerima, dan penghubung antara pemberi dan penerima, sehingga patut bagi kaum muslimin untuk menghindarinya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas dasar ini juga telah memfatwakan tentang keharaman politik uang (money politic) dan semua bentuk politik transaksional lainnya.
Ulama telah sepakat secara ijmak akan haramnya suap menyuap secara umum. Sebagaimana disebutkan oleh Ibn Qudâmah, Ibn al-‘Atsir, dan al- Shan’anî, semoga Allah merahmati mereka semua. Imam al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para ulama telah sepakat akan keharamannya.
Imam al-Shan’anî mengatakan, “Dan suap- menyuap itu haram berdasarkan ijmak, baik bagi seorang qâdhi (hakim), bagi para pekerja yang menangani sedekah atau selainnya.
Penulis :
Nama : Eril, S.Pd., M.H
TTL : Sinjai, 08 Februari 1991
Alamat : Desa Gantarang, Kecamatan Sinjai Tengah
Pekerjaan : Dosen Hukum Pidana Islam Universitas Islam Ahmad Dahlan
No. Hp : 0853 9882 1402