Suara Jelata – Cita-cita yang diharapkan bangsa Indonesia sejak masa reformasi tidak lain adalah iklim demokrasi semakin dapat menjadi parameter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses belajar demokrasi tersebut akan lebih lancar dan terarah bila dimulai sejak masa kanak-kanak. Untuk itu pendidikan demokrasi perlu ditanamkan dan dilatih dalam pendidikan di satuan pendidikan (sekolah).
Pendidikan demokratis tersebut akan bisa berjalan optimal, bila guru sebagai pendidik mengajarkan demokrasi dengan hidup dan bersikap demokratis dalam tugas mereka. Bila mereka sungguh menghayati sendiri nilai demokrasi, maka mereka akan dapat mendidik peserta didik secara demokratis. Sedangkan bila guru sendiri tidak bisa menjalankan pranata demokratis secara faktual, maka akan sulit membantu peserta didik untuk bersikap demokratis.
Memang tidak bisa dinafikan, bahwa peran guru dalam mendidik peserta didik menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan. Sistem pendidikan yang baik selalu menempatkan guru sebagai kurikulum berjalan. Implikasinya, guru tidak hanya dituntut dapat menyampaikan materi saja, tetapi juga menjadi sumber inspirasi, pedoman bersikap sosial, dan acuan tingkah laku. Guru hendaknya dapat menjadi hidden curriculum yang tidak pernah kehabisan akal dan cara untuk mendampingi para peserta didiknya.
Di samping itu tugas guru bukan hanya sekadar mikrofon, orator, atau buku. Namun lebih mirip lokomotif. Sebab kalau mau jujur, semua komponen bangsa ini berharap guru bukan hanya untuk “digugu lan ditiru” (dianut dan dicontoh), melainkan mampu membawa dan mengantar peserta didik hingga terminal yang dituju.
Guru dominan
Sebenarnya pendidikan yang demokratis bisa diamati dari lingkup yang paling kecil, yaitu praktik pembelajaran di kelas. Selama proses pembelajaran berlangsung, apa yang terjadi dengan pembelajaran peserta didik dan juga sikap guru terhadap peserta didiknya.
Tidak jarang sampai saat ini, masih banyak guru yang menggunakan sistem banking dalam proses pembelajaran di kelas.
Dalam model ini, guru lebih dominan dan peserta didik cenderung pasif. Guru memberi dan peserta didik diberi, guru menentukan dan peserta didik ditentukan. Guru mengarahkan dan peserta didik diarahkan. Hal itu di dasarkan pada pemahaman bahwa guru itu serba tahu dan peserta didik tidak tahu apa-apa. Dengan demikian peserta didik dianggap sebagai obyek yang dibantu, bukannya diperlakukan sebagai subyek yang dapat berkembang dan menentukan sendiri.
Model guru mengajar tersebut sering disebut sebagai model the fountain and the bowl. Guru adalah pancuran air dan peserta didik adalah mangkuknya. Guru memberikan air pengetahuan, dan peserta didik hanya harus menerima pengetahuan itu dalam mangkuk otaknya.
Banyak praktik pembelajaran yang dilakukan guru dengan mengajarkan semua topik dan bahan yang telah dituliskan dalam kurikulum, namun guru tanpa sempat menyesuaikan dengan keadaan dan situasi peserta didik. Dampak yang dirasakan peserta didik memang mempelajari materi tersebut, namun seringkali tidak menemukan makna dari materi yang dipelajari. Hal ini dapat terjadi karena guru tidak mengajarkan bahan secara kontekstual, (Paul Suparno, 2008).
Sebagai misal, guru Matematika mengajarkan perhitungan tanpa mengorelasikan dengan kebutuhan sehari-hari yang memerlukan perhitungan. Guru Seni Budaya hanya mengajarkan teori seni di depan kelas, tanpa berusaha mencari terobosan agar peserta didik dapat melihat secara faktual keragaman seni budaya di daerahnya.
Guru Fisika banyak mengajarkan rumus fisika secara matematis tanpa mengaitkan dengan situasi dan kehidupan mereka sehari-hari. Akibat lebih jauh, materi pelajaran yang tidak konteks dengan peserta didik dengan mudah terlupakan begitu saja. Banyak para peserta didik seusai pelajaran atau selang beberapa hari ketika ditanya substansi materi yang diberikan dengan mudah akan menjawab lupa.
Model CTL
Untuk itu kiranya diperlukan model pembelajaran demokratis yang mampu menstimulasi peserta didik memaknai materi pembelajaran tanpa tekanan dan menyenangkan. Salah satunya guru sebagai pendamping perlu mengaplikasikan model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning). Pembelajaran ini merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengorelasikan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata peserta didik, dan mendorong peserta didik membuat korelasi antara pengetahuan yang dimilikinya dengan aplikasi dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Untuk mengoptimalkan pembelajaran demokratis berdasarkan model CTL diperlukan strategi pembelajaran yang dapat dielaborasikan guru melalui pembelajaran kontekstual, diantaranya pertama menekankan pembelajaran berbasis masalah. Sebelum memulai proses belajar mengajar pesera didik diminta mengobservasi suatu fenomena. Kemudian peserta didik diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang peserta didik untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada kemudian menjadi bahan diskusi.
Kedua, memanfaatkan lingkungan peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar. Di sini guru dapat memberikan penugasan yang dapaT dilakukan di berbagai konteks lingkungan peserta didik antara lain di satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru perlu didesain agar dapat memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk belajar di luar kelas. Misalnya, peserta didik keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Peserta didik diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang perlu dilakukan peserta didik dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pembelajaran.
Ketiga, mengaplikasikan aktivitas belajar mandiri. Dalam konteks ini peserta didik diharapkan dapat mencari, menganalisis, dan menggunakan informasi tanpa bantuan guru. Agar dapat melakukannya peserta didik perlu lebih memperhatikan bagaimana mereka dapat memperoleh informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Hal itu perlu dilakukan agar mereka dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri guna mereksi iklim ketergantungan.
Keempat, membuka ruang dialogis. Di sini guru perlu memberikan ruang dialog yang seluas-luasnya bagi peserta didik agar tercipta situasi pembelajaran yang aktif, kritis dan kreatif.
Dengan pembelajaran demokratis, guru seharusnya akan senang bila peserta didiknya berani mengungkapkan gagasan mereka, berani mendebat secara konstruktif materi pembelajaran yang dijelaskan guru karena mereka melihat dari perspektif lain.
Di samping itu guru selalu memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengungkapkan gagasan-gagasan alternatif yang dapat merangsang ranah imajinasi mereka. Melalui pembelajaran demokratis, diharapkan dapat menyemai tunas-tunas muda untuk membentuk pribadi utuh guna menyongsong pencerahan pendidikan di masa yang akan datang. (*)
Penulis:
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Guru Seni Budaya
SMK Wiyasa Magelang
Alumnus ISI Yogyakarta dan Magister Pendidikan UST Yogyakarta