Suara Jelata – Ketika Rusdi Yusuf, Ketua Harian DPP KNPI, menuding amburadulnya pengelolaan keuangan daerah di Maluku Utara akibat tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH), ia sesungguhnya sedang berbicara dengan bahasa yang sangat logis dan sejalan dengan prinsip-prinsip dasar pengelolaan fiskal yang sehat. Pernyataan ini dimuat dalam Radar Timur, edisi 19 April 2025, sebagai respons atas kegaduhan publik soal hak-hak fiskal kabupaten/kota yang diabaikan oleh provinsi.
Pemerintah Provinsi Maluku Utara mencatatkan tunggakan DBH sejak tahun 2021 hingga 2024 yang belum terselesaikan. Jumlahnya menggunung, dan imbasnya langsung dirasakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang kehilangan hak fiskal mereka. Lebih tragis lagi, jawaban dari Pemprov justru menyebut bahwa mereka masih menunggu dana transfer dari pusat. Ini jelas argumentasi yang menyesatkan. Karena tidak semua DBH bersumber dari pusat.
Kita tahu, penerimaan dari PKB dan BBN-KB adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dipungut setiap hari melalui unit-unit Samsat. Berdasarkan UU 28 Tahun 2009, distribusi dari dua sumber pajak tersebut sudah diatur: 70 persen untuk provinsi dan 30 persen untuk kabupaten/kota. Ini bukan kebijakan opsional, tapi kewajiban hukum yang harus dijalankan setiap triwulan.
Sebagai gambaran, data APBD Maluku Utara dalam tiga tahun terakhir mencatat rata-rata realisasi PKB dan BBN-KB sebesar Rp 50 miliar per tahun. Artinya, sekitar Rp 15 miliar per tahun seharusnya dibagikan ke 10 kabupaten/kota. Nilai ini memang tampak kecil dibanding DBH sektor tambang, namun tetap krusial bagi daerah-daerah dengan PAD terbatas.
Bukan soal besar atau kecilnya nilai, tapi soal kepatuhan dan hak fiskal
Sekali lagi, ini bukan soal besar kecilnya nilai dan keabsahan data DBH yang disuguhkan, tapi lebih pada persoalan keadilan. Ketika hak fiskal ini tidak disalurkan, kita tidak hanya bicara soal pelanggaran prosedur. Kita sedang menyaksikan praktik “pemiskinan fiskal struktural” terhadap kabupaten/kota oleh provinsi. Jika ini berlangsung selama empat tahun berturut-turut, maka kita harus mempertanyakan integritas, transparansi, dan kapasitas pengelolaan keuangan Pemprov, khususnya pada BPKAD Maluku Utara di bawah kendali Ahmad Purbaya.
Rusdi juga menekankan, bahwa masalah DBH ini bukan kesalahan Gubernur Sherly Tjoandra dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe, karena keduanya baru menjabat sejak 27 Februari 2025. Tudingan ini diarahkan murni pada pengelolaan fiskal sebelumnya yang gagal menjunjung asas keadilan dan tanggung jawab keuangan daerah.
Solusinya sederhana namun tegas:
- Buka data realisasi penerimaan dan penyaluran DBH secara triwulan sejak 2021–2024.
- Susun skema pelunasan bertahap dengan batas waktu yang realistis.
- Evaluasi Kinerja BPKAD
- Gunakan pendekatan cashflow budgeting yang memastikan setiap penerimaan PAD langsung mengalokasikan bagian untuk kabupaten/kota.
Tanpa langkah-langkah itu, kita akan terus menyaksikan daerah-daerah tertinggal di Maluku Utara. Bukan karena mereka tidak punya potensi, tapi karena hak mereka ditahan oleh rumah tangga fiskal provinsi yang berantakan.
Logika Rusdi adalah logika akal sehat fiskal. Yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian politik untuk menegakkannya.(*)
Penulis:
Asmar Hi Daud
Akademisi dan Mantan Birokrat