Opini

Pemimpin Perlu Musyawarah dan Tidak Alergi Kritik

×

Pemimpin Perlu Musyawarah dan Tidak Alergi Kritik

Sebarkan artikel ini
Amanah Upara, Anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Sula dari Fraksi Golkar. (foto: koleksi pribadi)

Suara Jelata “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah-Nya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S.An-Nisa 4:59).

Ulil Amri (pemimpin) rakyat adalah mereka yang memiliki kemampuan berpendapat, berpengetahuan di setiap bidang kehidupan. Mereka adalah analis dalam setiap ragam kehidupan baik di bidang politik domestik maupun internasional. Mereka adalah ahli strategi perang sekaligus perdamaian. Mereka punya kemampuan mengendalikan perekonomian dan finansial, bahkan piawai di bidang hukum dan peradilan terlebih punya pengetahuan di bidang keagamaan.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Ragam disiplin ilmu tersebut dikuasai secara mendalam, akurat dan profesional. Tak heran memang jika kepakaran mereka turut melegitimasi keberterimaan mereka di masyarakat.

Sebut Muhammad Hilmi, “Kumpulan para pakar ini adalah Ulil Amri, mereka yang memiliki tonggak politik dalam rangka menangani urusan-urusan umat,”.

Sistim musyawarah, sebagaimana dijelaskan tersebut, sekilas menggambarkan eksistensi demokrasi. Di antara makna demokrasi, pemimpin perlu memberi ruang dalam kondisi apa pun kepada rakyat yang dipimpinnya.

Rakyat butuh kebebasan berpendapat, bukan kebebasan rakyat harus dibungkam dan dikekang. Rakyat diberi ruang kebebasan untuk mengekspresikan pendapat, saran bahkan kritik sekalipun.

Pemimpin ideal atau pemimpin yang di cita-citakan dalam kamus demokrasi adalah sosok pemimpin yang memutuskan sesuatu permasalahan hanya menggunakan prosedur musyawarah. Keputusan yang demokratis bagi seorang pemimpin adalah ciri khasnya pemimpin yang lahir dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dapat dikatakan jika prosedur demokrasi ini enggan diterapkan, saran dan kritik adalah hal yang tabu maka dapat dipastikan sosok pemimpin tersebut adalah pemimpin otoriter. Padahal sesungguhnya, kritik ataupun saran dalam bermusyawarah adalah ruhnya demokrasi sekaligus obat mujarab mengkonklusifkan setiap permasalahan.

Sosok pemimpin yang memahami kekurangan dan kelemahan dirinya adalah prototipe manusia bijak. Setiap manusia tentunya tak luput dari salah dan dosa. Dengan demikian, ketika kritik ditujukan kepadanya, dia dengan lapang dada menerima sembari mengucapkan terimakasih kepada si pengeritik. Tentunya kritik tersebut adalah kritik yang berbau sehat dan konstruktif.

Pemimpin ideal akan merespon secara baik atas kritik yang dialamatkan kepadanya. Sekali lagi kritik tersebut bukan bermaksud mencari-cari kesalahan tapi demi penyempurnaan atas kesalahan yang dibuat.

Kritik konstruktif adalah perwujudan dari sikap yang manusiawi dari pengeritik. Tidak perlu marah sembari memusuhi para pengeritik tersebut.

Dalam konteks kepimpinan yang demokratis, kritik konstruktif adalah upaya membenahi setiap kebijakan yang menyimpang dari amanat konstitusi atau aturan yang berlaku. Tujuannya adalah menyelamatkan sang pemimpin dari kebijakan kesewenang-wenangan yang mengabaikan hak-hak rakyat.

Sabda Rasulullah, “Dengan musyawarah, suatu kaum akan ditujukkan pada jalan penyelesaian yang baik.”

Orang yang bermusyawarah tidak akan menyesal, karena dia mengambil keputusan berdasarkan saran, masukan, suara terbanyak serta dilandasi pikiran rasional dalam forum musyawarah.

Pemimpin ideal dalam kamus demokrasi tak sungkan mengambil keputusan tanpa mengabaikan prosedur demokrasi. Ia juga enggan bersikap emosional ketika dihujani kritik yang bertubi-tubi. Kritik adalah sari pati untuk seorang pemimpin dalam mengambil keputusan.

Pemimpin dikritik karena pemimpin dipilih rakyat. Ia punya kewajiban melayani rakyat. Jika kebijakannya merugikan rakyat maka wajarlah jika ia dikritik.

Dalam konteks bernegara dan berpemerintahan, Indonesia adalah negara demokrasi bukan negara totaliter (diktator). Pemimpin diktator akan di capoleh sejarah sebagai pemimpin yang jahat dan munafik. (*)

Penulis:
Amanah Upara
Anggota DPRD
Kabupaten Kepulauan Sula
Fraksi Partai Golkar