
OPINI, Suara Jelata– Akhir-akhir ini masyarakat media sosial Sinjai dihebohkan dengan polemik Drop Out-nya (DO) dua mahasiswa IAIM Sinjai Nuralamsyah dan Herisetiawan.
Kasus ini disinyalir bermula dari tidak dibayarnya uang kartu ujian sebesar Rp 80.000 yang kemudian disusul dengan berbagai kecaman dari beberapa elemen mahasiswa.
Jika dikaji dari kacamata hukum, pengambilan keputusan DO oleh kampus adalah wewenang kampus itu sendiri sebab UU nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi tidak mengatur secara tegas terkait masalah DO dan skorsing dan yang lebih parahnya lagi permenristekdikti No 44 tahun 2015 tentang standar nasional.
Pendidikan tinggi hanya mengatur batas masa studi studi sehingga aturan aturan yang secara eksplisit menjadi otonomi kampus itu sendiri.
Sering kali otonomi yang dimiliki kampus menjadikan kampus memiliki kuasa untuk menentukan nasib mahasiswanya.
Otonomi itu yang kadangkala disalahgunakan kampus untuk menekan tindakan kritik yang dilakukan oleh oleh mahasiswa yang sejatinya kampus memberikan ruang ruang demokrasi bagi mahasiswa.
Kembali kepersoalan DO mahasiswa IAIM sinjai, dari beberapa data yang dihimpun dari pihak kampus sebab dikeluarkannya keputusan pemecatan dua mahasiswa itu menurut Wakil Rektor II IAIM Sinjai Dr. Ismail bahwa pihaknya mengeluarkan surat DO tersebut setelah melalui pertimbangan yang matang diantaranya.
Mahasiswa tersebut dianggap melanggar kode etik seperti mengganggu pada saat proses ujian semester berlangsung, melakukan provokasi kepada teman-temannya untuk tidak mengikuti ujian semester, melakukan pengancaman kepada panitia ujian, dan membuat pernyataan hoax di media dengan mengatakan bahwa salah satu dosen melakukan pemukulan.
Dalam tinjaun hukum materil dalam hal ini statuta kampus tersebut jelas mahasiswa tersebut telah melanggar dan patut dikenakan sangsi DO namun dalam pengambilan keputusan kampus seakan-akan terlihat tergesa-gesa sebab sebelum dikeluarkannya keputusan tersebut tidak dibarengi dengan mediasi antara mahasiswa dengan pihak kampus sehingga mekanisme dalam mengambil keputusan tersebut patut dianggap cacat prosedur.
Jika pihak mahasiswa yang di DO memang serius menanggapi kasus ini alangkah baiknya mengambil langka hukum yang tegas yakni mengajukan gugatan TUN ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) karena hal itu telah diatur dalam pasal 4 ayat 1 UU Nomor 40 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan bahwa setiap surat keputusan rektor baik universitas Negeri maupun universitas swasta dapat dijadikan objek gugatan di pengadilan tata usaha negara (PTUN) yang batas masa pengajuannya 90 hari sejak putusan diterima
Selanjutnya di pasal 53 ayat 1 UU nomor 51 tahun 2009 tentang peradilan tata usaha negara mengatur bahwa setiap subjek hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis ke pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa tuntutan ganti rugi.
Namun ada hal yang perlu digaris bawahi bahwa dalam prakteknya seringkali gugatan dalam PTUN hanya menang sebatas putusan saja sebab biasanya pihak tergugat tidak patuh pada putusan PTUN dan terlebih jika dikaji dalam aspek sosialnya ketika pun misalnya kampus mentaati keputusan tersebut mahasiswa akan kehilangan identitas aslinya sebagai mahasiswa (proses akademiknya tidak seperti yang sebelumnya entah ada efek sentimen dari birokrat kampus).
Sekiranya dalam kasus ini perlu diamati dari berbagai aspek, baik aspek hukum maupun aspek sosialnya, jadi alangkah baiknya pihak mahasiswa dengan kampus duduk bersama dalam menyelesaikan kasus ini (win win solution).
Opini merupakan tanggung jawab penulis