
OPINI, Suara Jelata— Beberapa hari yang lalu, media kembali dihebohkan dengan adanya aksi penolakan film Dilan oleh sekelompok oknum mahasiswa di Makassar, bahkan kemarin pun masih demo hingga ke salah satu Bioskop.
Menurut mereka, film Dilan 1991 mengandung unsur kekerasan yang dapat ditiru oleh siswa di sekolah, mereka juga berspekulasi bahwa film Di lan 1990 yang sebelumnya tampil tahun lalu yang menyebabkan makin meningkatnya aksi kekerasan oleh siswa kepada gurunya seperti yang terjadi beberapa minggu yang lalu.
Padahal sebelum film di tayangkan tentunya sudah melalui proses uji lolos sensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF)
Menurut UU No 33 tahun 2009 tentang perfilman pasal 57 ayat (1) jo pasal 24 ayat (1) PP no 18 tahun 2014 “Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum wajib disensor terlebih dahulu oleh Lembaga Sensor Film (“LSF”) untuk memperoleh surat tanda lulus sensor”,
Adapun poin penting yang menjadi penilaian lulus tidaknya sensor film kemudian diatur dipasal 29 ayat (2) yakni dari segi :
a. Kekerasan, perjudian, dan narkotika
b. Pornografi
c. Suku, ras, kelompok, dan/atau golongan
d. Agama
e. Hukum
f. Harkat dan martabat manusia
g. Usia penonton film.
Jika poin diatas dilanggar oleh produser film Dilan, tentunya tidak akan tayang di bioskop atau bahkan ditelevisi.
Uji lulus sensor di lembaga sensor film telah dilalui, kalau pun tayang berarti kecerobohan pihak Lembaga Sensor Film yang tidak menyensor bagian yang mengandung hal negatif sesuai dan menurut kajian mahasiswa yang memprotes mengandung unsur kekerasan yang dapat ditiru oleh pelajar mestinya bukan filmnya dulu yang di demo melainkan pelaksana regulasi dalam hal ini lembaga sensor film sebab tayangnya semua film di indonesia di telah melalui uji lulus sensor.
Dan kalau ada adegan yang menurut mahasiswa tersebut berbahaya berarti kecerobohan pihak lembaga sensor film dalam menilai sesuai pasal 29 diatas,
Dipasal 7 UU no 33 tahun 2009 juga sudah mengatur batasan umur untuk ditontonnya sebuah film yakni :
a. Untuk penonton semua umur;
b. Untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;
c. Untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan
d. Untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
Di film Dilan sendiri ditayangkan hanya untuk umur 13 tahun ketas, Selanjutnya dipasal 38 mengatur sanksi “Film yang sudah dinyatakan lulus sensor oleh LSF bisa ditarik dari peredaran oleh Menteri berdasarkan pertimbangan LSF apabila menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketentraman atau keselarasan hidup masyarakat” dan dipasal 79 mengatur tentang Sanksi administratif yaitu berupa:
a. Teguran tertulis;
b. Denda administratif;
c. Penutupan sementara; dan/atau
d. Pembubaran atau pencabutan izin
Jika kemudian film Dilan menjadi salah satu faktor maraknya aksi kekerasan di sekolah, mungkin perlu data yang jelas atau paling tidak bertanya kepada pelaku kekerasan apakah dia terinspirasi dari film Dilan atau tidak, bukan asumsi belakang.
Aksi kekerasan di dunia pendididikan yang entah dilakukan guru kepada siswa atau sebalinya sudah ada dan marak terjadi di sekolah jauh sebelum Film Dilan tayang di bioskop.
Berdasarkan data yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menurut survei International Center for Research on Women (ICRW) angka kasus kekerasan di sekolah di Indonesia ini lebih tinggi dari Vietnam (79 persen), Nepal (79 persen), Kamboja (73 persen), dan Pakistan (43 persen), jumlah kasus kekerasan terhadap anak di bidang pendidikan per 30 Mei 2018 sebanyak 161 kasus.
Perinciannya, kasus anak korban tawuran sebanyak 23 kasus (14,3 persen), kasus anak pelaku tawuran sebanyak 31 kasus (19,3 persen), dan kasus anak korban kekerasan dan bullying sebanyak 36 kasus (22,4 persen).
Selanjutnya, kasus anak pelaku kekerasan dan bullying sebanyak 41 kasus (25,5 persen) dan kasus anak korban kebijakan pendidikan sebanyak 30 kasus (18,7 persen).
Kasus terbanyak berasal dari jenjang SD sebanyak 13 kasus (48 persen), disusul dari jenjang SMA/SMK berjumlah sembilan kasus (34,7 persen), dan SMP sebanyak lima kasus (17,3 persen).
Data diatas membuktikan bahwa kasus kekerasan disekolah sudah menjadi rahasia umum.
Kembali ke aksi penolakan film Dilan, semoga aksi penolakan bukan aksi akal akalan semata. Ataukah hal ini menjadi drama kontrovsersi untuk menarik perhatian publik.
Penulis: Hendra Atmajaya, SH, Alumni Fakultas Syariah dan hukum UIN Alauddin Makassar