
OPINI, Suara Jelata— Kesalehan profetik adalah sebuah bentuk kesalehan yang berdimensi ritual dan sosial.
Ritual artinya kesalehan yang muncul sebagai akibat dari rangsangan psikologi manusia sebagai Al-‘Abd (Hamba Allah), sehingga rutinitas kasalehannya termanifestasi hanya pada urusan romantisme pribadinya dengan Allah sebagai Zat yang ia pertuhankan.
Lain halnya dengan kesalehan sosial yang muncul sebagai akibat dari peran sosial manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
Perpaduan dari dua kesalehan itulah yang disebut sebagai kesalehan profetik dan pribadi yang mempunyai kesalehan profetik dalam terminologi Mustofa Bisri disebutnya sebagai Al-muttaqi, seorang mukmin yang memiliki kesalehan ritual dan sosial sekaligus.
Muhammad Iqbal, sebagai pencetus kesadaran profetik menghubungkan kesadaran profetik dengan pengalaman Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad dalam ungkapannya mengatakan, apabila Muhammad itu adalah seorang sufi atau pelaku mistisisme, maka ketika beliau naik ke langit ke tujuh menghadap Tuhannya dia tidak akan kembali ke bumi, marena tujuan akhir dari seorang sufi adalah perjumpaan dengan Tuhannya.
Akan tetapi, beliau memilih turun ke bumi demi menggerakkan perubahan sosial serta mengentaskan segala macam patologi sosial yang menghambat konstruksi peradaban manusia.
Bulan suci Ramadhan adalah momentum terbaik untuk mengkarantina pribadi kita semua demi menjadi Insan kamil yang memiliki kualitas kesalehan yang paripurna.
Rangkaian ibadah di bulan suci Ramadhan tidak boleh hanya menjadi gerak-laku yang kosong oleh makna, tidak membangkitkan spirit untuk mengevaluasi diri pribadi kita, juga tidak membekas untuk menjadi sebuah kesadaran yang menggerakan hati nurani dan pikiran kita sebagai raja dan perdana mentri dalam kerajaan diri manusia.
Banyak dari kita malah menjadikan bulan Ramadhan sebagai ajang bermalas-malas ria, bekerja seadanya serta hanya fokus membekali diri dengan ibadah-ibadah mahdhah saja.
Padahal pada bulan puasa inilah kesalehan profetik harus lebih sering kita gaungkan, kondisi lingkungan sosial sekitar harus lebih kita perhatikan, sehingga tiga puluh hari di bulan puasa banyak agenda dan rutinitas sosial yang bisa lakukan.
Dalam upaya menggerakkan kesalehan profetik ini, pesan-pesan yang diproduksi dalam ceramah ramadhan tidak boleh hanya menjadi doktrin normatif yang berdimensi ritual, namun harus mampu membangkitkan kepekaan sosial jama’ah terhadap realitas destruktif yang ada, sehingga pada gilirannya dapat menjelma menjadi harmoni gerakan kolektif yang solutif bagi berbagai wajah patologi sosial
Dengan kata lain, harus adanya upaya dan agenda sistematis, terstruktur serta masif yang dibuat oleh berbagai pihak terkait pesan dari mutiara Ramadhan yang ditebarkan dari atas mimbar mampu menularkan kesadaran kenabian kepada jama’ah agar mampu berbuat Ihsan kepala semesta Tuhan, manusia dan jagat raya.
Kita bisa belajar dari Muhammadiyah dalam aktualisasi kesalehan profetik, KH.Ahmad Dahlan adalah pribadi yang senantiasa menggaungkan aktualisasi dari kesalehan sosial, bahwa duduk menghafal firman Tuhan tidaklah cukup mampu mengadakan perubahan.
Fiqih lahiriyah harus menjelma menjadi fiqih yang membatin dalam jiwa, hanya dengan itu raja dan perdana mentri akan mampu ditaklukkan untuk bergerak dan menggerakkan indra dan anggota tubuh yang lain sebagai aparat pembantu lahirnya perubahan.
Pengalaman dialogis KH. Ahmad Dahlan dengan para muridnya kemudian melahirkan kasadaran berislam yang paripurna, bahwa islam bukan hanya soal sorban, kurban, tasbih dan sajadah.
Islam adalah semesta pengabdian, rujukan dalam kemanusiaan, referensi dalam kasih mengasihi, agama yang mengajarkan untuk saling membesarkan satu sama lain dalam bingkai persaudaraan, untuk menjadi muhsin, pribadi mukmin yang mengabdi pada kemanusiaan demi mengharap keridha’an dan ampunan Tuhan.
Membangkitkan ekonomi rakyat, bulan Ramadhan oleh sebagian orang dipandang sebagai ladang ekonomi yang punya prospek mencerahkan, tak heran banyak masyarakat yang berbondong-bondong menjejalkan produk hidangannya di sepanjang ruas jalan.
Optimisme masyarakat untuk memperbaiki kondisi domestik rumah tangganya perlu kiranya kita apresiasi.
Kondisi seperti ini tidak boleh dinegasikan dan kita pandang sebagai persoalan biasa, kemiskinan bukan soal yang bisa kita anggap biasa, tegas Mansour Fakih dalam teksnya bebas dari neoliberalisme.
Kemiskinan terjadi bukan karena kurangnya etos kerja masyarakat kecil sebagaimana yang banyak digaungkan dalam forum dialogis.
Kita bisa lihat dan saksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana ratusan ibu-ibu berusia senja berbaris di depan pintu pasar menawarkan dagangannya berupa kue, sayur-sayuran, buah-buahan sampe daun bidara.
Mereka adalah pelaku ekonomi sekaligus kesatuan sosial yang paling rajin dibanding pegawai Bank atau para menejer perusahaan.
Kemiskinan mereka sejatinya adalah dampak dari produk kebijakan pemerintah yang tidak sanggup memproteksi masyarakat kelas bawah atau grassroot, dengan mencabut dan mengalihkan berbagai subsidi jaminan sosial, dari listrik, energi sampai BBM untuk menopang agenda pembangunan infrastuktur.
Berbagai model gerakan sosial ekonomi dinarasikan dengan masif oleh banyak aktivis, pemikir sosial dari kelompok falsifikasionis dengan paradigma humanis radikal yang menitikberatkan gerakannya pada usaha membangkitkan kesadaran masyarakat tentang sistem dan struktur penindasan, kemapanan serta hegemoni kekuasaan atau teori dependensia yang sangat ekonomis, dengan masalah periphery sebagai objek analisis utamanya.
Namun, wacana-wacana revolusioner itu belum mampu sepenuhnya menemukan model operasional yang kompatibel dengan situasi dan kondisi aktual di lapangan.
Tentu menunggu sambil duduk manis dan berlipat tangan bukan pilihan yang tepat.
Cara-cara kultural sepatutnya mulai dipikirkan, bulan Ramadhan harus didesain sebagai stimulus bagi munculnya gagasan alternatif di dalam usaha menggaungkan spirit kebangkitan ekonomi rakyat kecil.
Bulan ramadhan adalah media yang tepat untuk menebar inspirasi kesalehan profetik, bahwa predikat kesalehan tidak bisa direduksi hanya pada rutinitas pelaksanaan ibadah solat, puasa, ngaji dan zikir, karena itu adalah bagian dari pendangkalan terhadap agama, tulis A. Mustofa Bisri dalam teksnya Saleh Ritual, Saleh Sosial.
Dalam tradisi santri, kita mengenal kesalehan sebagai predikat bagi muttaqi, mukmin yang menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan Tuhannya.
Perintah Allah bukan hanya pada rutinitas ritual seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Allah juga memerintahkan untuk amanah, berlaku adil, dermawan terhadap sesama, mengasihi yang muda menghormati yang tua, bersedekah kepada fakir miskin dan yatim piatu.
Allah juga menyerukan keadilan membenci status quo, individualisme serta sifat bermegah-megah untuk dinikmati sendiri, kikir dan rakus.
Ramadhan seharusnya menjadi kampus untuk mendidik diri demi menjadi pribadi yang paripurna dalam memahami agama, pribadi yang paham terhadap fungsi sosialnya sebagai khalifah Tuhan yang punya tugas membumikan nilai ketuhanan dalam setiap tindak tanduk dan pergaulan hidup bermasyarakat.
Kesalehan profetik menuntun kita untuk melihat penderitaan orang lain sebagai rel menuju Tuhan, membantu dan meringankan beban hidup orang lain adalah upaya menemukan jejak-jejak Tuhan, termasuk juga usaha kita membangkitkan ekonomi rakyat kecil dengan cara melariskan produk dagangan mereka apakah itu gorengan, es buah atau hidangan buka puasa lainnya.
Sebisa mungkin kita kekang watak hedonis kita untuk bersantap di restoran elit atau di pusat perbelanjaan yang menyediakan menu komplit dengan harga selangit.
Sedikit saja uluran bantuan kita terhadap kondisi mereka, itu akan sangat membantu dalam pemenuhan kehidupan dapur mereka, bisa jadi akan ada pelaku ekonomi baru yang bermunculan dengan berbagai ladang usaha yang berbeda-beda.
Itu semua berawal dari cara kita memahami agama dengan paripurna.
Penulis: Taufiqurrahman, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab di UIN Alauddin Makassar.