Opini

Rahasia Nuzulul Qur’an

×

Rahasia Nuzulul Qur’an

Sebarkan artikel ini
Penulis

OPINI, Suara Jelata— Al-Qur’an menegaskan dirinya diturunkan sebagai pedoman hidup bagi setiap manusia. Hal ini dinyatakan dalam surah Al-Baqarah, ayat 185: “bulan ramadhan adalah bulan di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia, yang menjelaskan petunjuk dan pembeda antara yang benar dan yang batil.”

Sebagai pedoman hidup bagi manusia, maka aktualitas al-Qur’an sepenuhnya berada dalam hubungan yang fungsional dengan akal (kecerdasan) yang ada dalam diri manusia, dan dengan akalnya itu manusia dapat memahami apa yang terkandung dalam al-Qur’an. Tanpa akal amat sulit dibayangkan al-Qur’an dapat menjadi pedoman hidup bagi manusia, sebab akallah yang memungkinkan manusia dapat memahami kebenaran yang terkandung di dalamnya. Jika akal berhenti bekerja, dengan sendirinya ia tak mampu memahaminya, dan dengan sendirinya fungsi al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi dirinya menjadi hilang dan tidak berfungi.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Sungguh pun demikian, akal (pikiran) harus dibersihkan dari elemen-elemen negatif untuk membentuk sikap rendah hati, agar hatinya bercahaya dan dapat menerangi pemahaman kita terhadap kebenaran al-Qur’an. Karna itu, membaca al-Qur’an sesungguhnya membawa kita sedang berhadapan dengan realitas kebenaran yang tidak sepenuhnya dapat kita tangkap dengan mengandalkan pikiran semata-mata. Apalagi, menghadapi teks-teks Arab, yang secara linguistic menuntut kemampuan kita untuk menguasai bahasa Arab, dan itupun tidak cukup, karna dibalik teks masih terbentang kebenaran yang lebih luas dan lebih dalam yang sepenuhnya tidak bisa diungkapkan secara utuh, karna teks apapun bahasanya selalu mengandung keterbatasan-keterbatasan internalnya sendiri. Disamping itu, teks tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, karna memahami teks tanpa mendalami hubungan dengan konteks historinya, kita hanya berhadapan dengan deretan huruf yang indah, mempesona, tetapi terlepas dari cakwarawalanya sendiri.

Sering kali dengan kerendahan hati yang tulus untuk membuka mata hatinya yang tajam dan terang dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an, mesipun mungkin kita tidak memahami satu persatu kata yang tersurat di dalamnya, dan dilakukan di tengah malam yang suci, apalagi di bulan suci ramadhan, dan disertai dengan penuh rasa kejujuran, ketulusan dan kebersihan hati, maka secara tiba-tiba bacaan ayat-ayat al-Qur’an itu pelan-pelan, menggugah dan menggetarkan hati kita yang paling dalam, dan serta merta kita menangkap suatu kesadaran tinggi, tentang hakikat dari makna kehidupan, kemudian membimbing kita kepada kesadaran batin yang terang. Sehingga, memudahkan kita untuk melihat berbagai pilihan dan jalan hidup, kemudian kita dengan mudah mengambil dan memutuskan mana yang terbaik yang harus kita lakukan.

Itulah hidayah Tuhan yang bekerja secara internal dalam diri manusia sendiri dan terjadi secara langsung dan seketika, tanpa perantara apapun. Kecuali, kesediaan diri untuk membuka hati dengan tulus dan bersih dari niatan-niatan yang buruk. Al-Qur’an, Surah Yusuf:111 mengatakan: ”sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi mereka yang mempunyai kecerdasan. Al-Qur’an bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan apa yang ada di antaranyadan mejelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman”.

Kesejatian hidup hanya dapat dimengerti dan dipahami tidak dengan marah-marah dan caci maki. Kesejatian hidup hanya dapat dihayati, dimengerti dan dipahami melalui percakapan yang jujur, rendah hati dan tulus terhadap percikan-percikan hati nuraninya sendiri, seperti percikan api yang terang di tengah malam yang gelap, apalagi ditengah pandemi covid 19 ini kita punya waktu yang panjang untuk berdiam banyak dirumah, bersepih-sepih untuk membaca al-Qur’an.
Hal itu juga kemudian mendorong Nabi Musa AS untuk mendaki Gunung Turisina, dengan harapan lewat percikan sinar itu akan menemukan kesejatian hidup. Dan memang kemudian ia menemukannya, sebab Tuhan berkehendak untuk menampakan dirinya dihadapan Musa dan Muysa As pun pingsang karna penampakannya.

Episode itu diceritakan dengan sangat baik oleh al-Qur’an, Surah al-Araf, Ayat 143: “dan tatkala Musa dating pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan berfirman langsung kepadanya, maka berkatalah Musa: Ya Tuhanku tampakkanlah kepadaku agar aku melihat engkau. Tuhan berfirman: kamu sekali-kali tidak sanggup melihatku, tetapi lihatlah kebukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya, niscaya kamu dapat melihatku. Tatkala Tuhanya menampakkan diri di gunung itu, jadilah gunung itu hancur berantakan dan Musa pun jatuh pingsan, maka setelah musa sadar kembali, ia berkata: Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada engkau, dan akulah orang yang pertama-tama beriman.”.

Jalan menuju Tuhan memang bersifat sangat individual, dan setiap individu pada hakikatnya mempunyai jalannya sendiri-sendiriuntuk menuju dan bertemu dengan Tuhanya. Meskipun jalan itu berbeda-beda, tetapi hakikatnya sama, yaitu jalan kesalehan. Al-Qur’an telah menjadi penerang bagi jalan kesalehan itu, tinggal kita sendiri yang akan memutuskan apakah akan mengikuti jalan yang terang atau jalan kegelapan.

Tuhan memang tidak bisa dimonopoli oleh siapa pun, apakah ia seorang kiay atau pun orang biasa, apakah ia guru atau murid, apakah ia pemimpin atau rakyat. Tuhan tidak hanya milik mereka saja, tetapi milik semua mahluknya, tidak pandang warnah kulit, bahasa, jenis kelamin, partai politik dan agama. Jalan menuju Tuhan memang plural, dinamis dan actual, dalam kesalehan dan kebajikan sejati, dalam kepasrahan, ketulusan, kejujuran dan kerendahatian, yang makin hari makin langka.

Oleh: Sudirman P (Dosen IAI Muhammadiyah Sinjai).