OPINI, Suara Jelata— Tidak ada petani, tidak ada makanan. Demikian bunyi spanduk yang dibentangkan pengunjuk rasa sambil mengendarai sepeda motor di Jammu, India pada Selasa, 8 Desember 2020.
Para petani telah berkemah dalam jumlah besar di luar ibu kota sejak pertengahan November 2020. Pada 26 Januari lalu yang merupakan Hari Republik India, para pengunjuk rasa berdemonstrasi di seluruh kota yang disusul bentrok dengan polisi antihuru-hara.
Para pengunjuk rasa memblokir jalan raya di sekitar Delhi dan memainkan musik. Serikat petani telah menyerukan blokade nasional, dengan gerakan bernama “Chakka Jam” untuk memprotes pemblokiran jaringan internet di daerah tempat para petani berkemah.
“Kami akan memblokir kendaraan selama tiga jam sebagai gerakan simbolis,” ujar Rakesh Tikait, salah seorang pemimpin petani.
“Kami akan memberikan air, makanan, dan menjelaskan kepada mereka yang terjebak (akibat protes ini) mengapa kami melakukan protes.” ujarnya.
Ketika kita pahami lebih dalam tentang aksi tersebut, maka sebenanya petani India hanya menyuarakan tentang bagaimana mereka diberikan kehidupan yang layak dan diperhatikan sebagai penopang pangan bangsa dengan cara menolak UU Pertanian.
Kemarahan petani yang ada di India, seolah-olah membawa kita melihat bagaimana kekuatan petani untuk melakukan berbagai hal. Hal yang sama juga sering terjadi di Indonesia melalui aksi-aksi yang dilakukan seperti aksi penolakan omnibus law dan lain sebagainya, hal itu juga terjadi semata-mata hanya untuk menyuarakan tentang kesejahteraan petani yang sampai saat ini masih menjadi khayalan.
Kemarahan petani seharusnya dapat menjadi pembelajaran bagi pemerintah untuk kemudian memberikan fokus yang lebih tinggi di sektor pertanian, terutama bagi kesejahteraan petaninya.
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara pertanian, yang artinya pertanian memegang peranan yang sangat penting dari keseluruhan perekonomian nasional.
Hal ini, ditunjukan dari banyaknya penduduk atau tenaga kerja pada sektor pertanian. pertanian merupakan basis perekonomian Indonesia. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020, ada sekitar 33,4 juta petani yang bergerak di semua komoditas sektor pertanian.
Namun sejalan dengan itu, apakah nasib petani di Indonesia sudah sejahtera? Menurut pandangan saya, itu belum sebab kesejahteraan petani sering kali bukan prioritas atau tidak menjadi roh dalam sejumlah kebijakan pemerintah terkait pertanian misalnya dengan disahkannya omnibus law yang semakin mempermudah pengalihan pemanfaatan lahan pertanian.
Ketentuan ini terdapat dalam UU Cipta Kerja Pasal 122 angka 1 RUU Cipta Kerja yang menghapus pasal 44 ayat (3) UU No. 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Menurut laporan Kementrian Pertanian terkait perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) menyebutkan, bahwa luas bahan baku sawah baik beririgasi maupun nonirigasi mengalami penurunan rata-rata 650 hektar pertahun.
Ini menandakan bahwa nasib petani sebagai basis perekonomian bangsa terabaikan, hal itu senada dengan berkurangnya lahan pertanian setiap tahunnya yang menyebabkan tingkat produksi juga ikut menurun.
Selain itu, misi menyejahterakan petani kerap terabaikan karena jatuhnya harga hasil pertanian, dengan alasan menjamin kebutuhan masyarakat dan menstabilkan harga di tingkat konsumen, serta kebijakan impor bahan pangan yang dapat menekan harga.
Yang menjadi permasalahannya adalah sebab biaya perawatan lebih besar dibandingkan dengan harga jual.
Melihat sejumlah permasalahan tersebut, saya melihat bahwa kesejahteraan petani jauh dari impian, bahkan hanya sebatas utopia sajan, maka dengan itu pemerintah diharapkan untuk memberikan perhatian lebih kepada petani.
Meminjam perkataan prof. tun (pemenang nobel dari Venezuela) mengatakan bahwa sektor pertanian akan tergilas jika tidak ada perhatian yang sepadan dari pemerintah.
Karena itu pola pemberdayaan di sektor pertanian harus terus dikembangkan dengan cara pemerintah harus dapat mengeluarkan regulasi yang lebih mempertimbangkan kepentingan para petani, mengendalikan biaya perawatan pertanian dengan cara melakukan subsidi pupuk yang terjangkau oleh semua kalangan dan juga mengendalikan harga penjualan.
Serta terus melakukan pembangunan pertanian utamanya di desa-desa, pembangunan irigasi dan subsidi mesin pertanian agar petani dapat mencapai kesejahteraan yang selama ini seperti utopia belaka.
Bukan hanya itu, pemerintah juga harus hadir dalam membantu petani untuk melakukan pemasaran hasil pertanian mereka.
Penulis; Awal, Mahasiswa Asal Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.
Tulisan tersebut diatas merupakan tanggung jawab penuh penulis