Keseimbangan Moralitas, Rasionalitas, dan Spiritualitas

Opini
Dr. Sudirman P., M.Pd.I. Dosen UIAD Sinjai Sulawesi Selatan. (foto: dok. pribadi)

Suara Jelata Pada kenyataanya rakyat kecil akhirnya hanya pasrah atas perlakuan penguasa yang tidak adil. Mereka tidak pernah dapat melakukan protes apa pun, apalagi melawan, dan mereka pun tidak berdaya mengubah nasib menjadi lebih baik. Akhirnya hanya diam dan menerima apa adanya, meski beban kehidupan terasa makin berat.

Sejak zaman penjajahan, baik oleh kekuasaan kolonial Belanda, Jepang maupun oleh kekuasan raja-raja kita sendiri, nasib rakyat kecil selalu terpuruk karna kemiskinan dan kebodohan. Rakyat hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan belaka, tetapi tidak pernah mempunyai kekuasaan untuk meluruskan dan memperbaiki jalannya pemerintahan yang tidak berpihak kepada nasib mereka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini, di era modern, para wakil rakyat yang seharusnya dapat membela kepentingan rakyat kecil dan mengubah nasib mereka menjadi lebih makmur, ternyata hanya peduli pada kedudukan diri sendiri untuk terus makin makmur. Serta untuk terus menjaga kelangsungan hidup partainya sendiri-sendiri. Mereka dengan rakus memperebutkan uang, jabatan dan kekuasaan.

Keadaan semacam ini, cepat atau lambat akan membuat frustrasi sosial semakin meluas dalam kehidupan masyarakat. Maka rakyat pun hanya bisa pasrah sambil berharap dan menunggu datangnya anugerah dari langit. Akhirnya masyarakat tidak mampu melahirkan pemimpin dan tidak lagi percaya pada proses yang rasional dalam melahirkan seorang pemimpin bangsa. Kita terjebak pada rasionalitas yang irasional.

Frustasi sosial yang ditandai adanya pengingkaran terhadap cara-cara yang rasional, akan berdampak sangat serius bagi pertumbuhan peradaban suatu bangsa. Kekuatan akal budi akan dikalahkan oleh kepercayaan yang kuat pada dukun dan mistik. Penggalian situs-situs sejarah atas bisikan paranormal untuk mendatangkan manfaat dan keuntungan masyarakat adalah pengingkaran nyata terhadap kekuatan akal budi. Pada sisi lain, akan muncul kekuatan politik radikal yang berbasis pada penafsiran sempit pada doktrin keagamaan dalam bidang politik, sehingga akan memicu kekerasan politik yang makin kompleks.

Dengan lemahnya akal budi bangsa, maka demoralisasi akan makin meluas, dengan munculnya premanisme di mana-mana, baik pada bidang ekonomi, hukum maupun politik. Premanisme ekonomi terlihat dalam penjualan aset-aset negara kepada pihak asing tanpa mempedulikan kepentingan bangsa secara keseluruhan dengan mempertimbangkan berbagai aspek.

Premanisme hukum terjadi melalui intervensi kekuasaan dan uang dalam menyelesaikan perkara hukum, sehingga KUHP diplesetkan menjadi “Kasih Uang Habis Perkara”. Premanisme politik ditandai munculnya satgas-satgas partai politik yang kebablasan menjalankan fungsi, sehingga menjadi alat untuk melakukan tekanan dan teror politik.

Jika kehidupan rakyat makin miskin, sehingga tak mampu lagi membiayai pendidikan yang makin mahal, maka kebodohan akan terus berkembang meluas. Sementara berbagai kesulitan dan penderitaan terus melilit kehidupannya, sehingga akan terjadi kemerosotan total kekuatan akal budi. Akhirnya kehidupan sebagai bangsa yang berdaulat akan tercabik-cabik oleh kemiskinan dan kebodohan, dan tidak akan mampu mengelola kekayaan alam yang dimilikinya, dan akan menjadi bangsa kuli di negeri sendiri. Jika kemerdekaan ekonomi sudah tidak ada, kemerdekaan politik pun jatuh. Negeri ini sudah tergadaikan oleh kemiskinan dan kebodohan.

Kitab suci mana pun telah mengajarkan kepada kita terjadinya kejatuhan peradaban suatu bangsa, dan jatuh bangunnya peradaban bangsa-bangsa itu selalu ditandai oleh jatuhnya moralitas dan spiritualitas bangsa itu sendiri. Kejatuhan peradaban telah terjadi, di Cina, India, Mesir kuno sebelum puncak peradaban Yunani. Jatuh bangun peradaban telah terjadi di dunia ini. Puncak peradaban yunani pun jatuh, kemudian peradaban Islam dan kini sedang mengancam peradaban Barat.

Spiritualitas akal budi jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu keduniawian dan egoisme sempit. Kejernihan akal budi terhalang oleh dorongan hawa nafsu manusia sendiri untuk mengejar dan mendapatkan kekuasaan, kekayaan dan kesenangan lahiriyah. Krisis multidimensi yang melanda bangsa ini sesungguhnya sesuatu peringatan fundamental bagi kita untuk bersedia melakukan refleksi kesejarahan. Bahwa jatuh bangun peradaban suatu bangsa disebabkan perilaku kita sendiri yang tak pernah mau belajar dari kesalahan para pendahulunya.

Bau reruntuhan peradaban terasa makin menyengat, dan peringatan kitab suci terasa makin dekat, dan hanya pemimpin yang memiliki keteladanan, baik secara individual maupun kelompok, baik yang ada dalam struktural maupun di luar struktural. Yang mampu memberi arah keteladanan konkret dalam perjalanan sejarah bangsa ini menuju keadilan dan kemakmuran. Jangan sampai kesadaran datang terlambat, karena bangsa ini dapat dilaknat dan sekarat.

Dalam Al-Qur’an 3:110 ditegaskan bahwa: (kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang baik, mencegah yang jahat dan beriman kepada Tuhan). Umat yang terbaik adalah umat yang mampu menjaga keseimbangan moralitas, rasionalitas dan spiritualitas dalam membangun kemajuan peradaban. Moralitas sesungguhnya tidak pernah bisa dilepaskan dengan dimensi rasionalitas dan spiritualitas. (*)

Dr. Sudirman P., M.Pd.I.
Dosen UIAD Sinjai
Sulawesi Selatan

Dapatkan update berita pilihan setiap hari dari suarajelata.com.

Mari bergabung di Halaman Facebook "suarajelata.com", caranya klik link Suara Jelata, kemudian klik ikuti.

Penulis: Sudirman Editor: Narwan