Suara Jelata – Masalah lingkungan dewasa ini, memang banyak menuai perhatian masyarakat dunia. Mulai kalangan pemimpin, para intelektual dan kaum agamawan, sampai masyarakat kecil sekalipun. Karena pada kenyataannya alam dari hari ke hari kian kritis.
Kemerosotan lingkungan ini tampak di depan mata kita dengan frekuensi informasinya yang cukup tinggi, tetapi seakan terhalang karena perilaku maupun gaya hidup manusia yang kian konsumtif dan melekat sebagai properti modern. Ketidakpedulian atau kekurangpedulian warga terhadap lingkungan alam sekitarnya dapat berakibat fatal.
Tidak sedikit musibah yang terjadi sebagai akibat dari ketidakpedulian manusia pada lingkungan alam yang ada di sekitarnya, di antaranya adalah terjadinya banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan. Di samping bencana-bencana tersebut menelan korban jiwa yang tidak sedikit, juga telah merusak sejumlah rumah tinggal, fasilitas kesehatan, fasilitas ibadah, fasilitas pendidikan, dan fasilitas umum lainnya.
Kita mendengar banyak orang yang khawatir dengan krisis ekologis dan membahas tentang bagaimana mengatasinya. Walaupun bukan problem yang baru disadari oleh manusia, persoalan lingkungan masih belum menemukan formula yang tepat untuk dijadikan sebagai tindakan yang aplikatif.
Adanya koreksi atas pandangan yang memusatkan manusia sebagai problem lingkungan hidup merupakan kritik balik dari pergeseran paradigma yang sebelumnya berpijak pada cara pandang organis yang dibawa oleh filsuf alam sezaman Aristoteles. Krisis lingkungan hidup dalam pandangan merupakan gambaran krisis spiritual paling dalam yang pernah melanda umat manusia akibat pendewaan humanisme yang memutlakkan manusia terhadap alam.
Kemudian bagaimana ajaran agama yang dipandang sebagai pedoman hidup dalam menjawab persoalan ekologi ini? Tentunya kita harus kembali melihat dan mengkaji lebih dalam informasi dari Tuhan yang berlabel agama itu. Agama sebagai sebuah sistem kepercayaan yang mengajarkan kepedulian terhadap alam, dan harmoni kehidupan semakin tampak jika agama dicermati dalam perspektif Islam.
Dalam dua isyarat teks kewahyuan, jika ditelaah secara mendalam akan ditemukan bahwa sesungguhnya manusia dan alam adalah kesatuan yang tak terpisahkan yang satu memengaruhi yang lainnya, semesta adalah makrokosmos. Oleh karena itu, dalam diri manusia akan muncul gejalanya pada manifestasi-manifestasi yang ada dalam alam semesta.
Sebagai contoh, Islam mengajarkan agar manusia menjaga kebersihan. Dalam konteks yang lebih luas, kebersihan bukan hanya persoalan kebersihan dan kesucian tubuh, tetapi juga persoalan kebersihan lingkungan yang merupakan sebuah makna yang tercakup dalam pernyataan “Kebersihan mengarahkan pada Keimanan”. Bahkan dalam kitab-kitab fikih, Bab pertama hampir selalu diawali dengan Bab Thaharah (bersuci) yang mengkaji tentang bagaimana bersuci yang tidak dapat lepas dari aktivitas kebersihan.
Dalam ajaran Tasawuf, akhlak yang baik lahir dari hati dan jiwa yang bersih pula. dengan demikian, jika manusia mengabaikan konsep kebersihan, maka yang terjadi adalah manusia akan tidak peduli pada lingkungan. Seperti, mereka membuang sampah sembarangan di sungai. Sungai yang penuh sampah akan menjadi dangkal dan kotor, yang akhirnya menjadi sumber berbagai macam penyakit dan bencana, di antaranya adalah banjir.
Dapat dipahami bahwa pendangkalan sungai secara tidak langsung bersumber dari kedangkalan pemahaman manusia tentang ajaran kebersihan. Jika hal itu tidak segera disadari, maka hati dan pikiran manusia akan menjadi dangkal, seperti sungai-sungai di kota besar yang semakin dangkal karena sampah dan lumpur yang bertumpuk-tumpuk, bahkan yang lebih parah lagi adalah didirikannya bangunan-bangunan rumah di bantaran sungai.
Gambaran sederhana tersebut menunjukkan bahwa kondisi ruhani manusia bisa memengaruhi kondisi alam. Sebaliknya, jika sungai penuh kotoran akan menjadi sumber penyakit, orang bisa terkena penyakit. Jika lingkungan rumah tidak bersih, orang bisa terkena penyakit. Orang yang sakit akan kesulitan beribadah dengan sempurna.
Dapat dipahami adanya hubungan timbal balik, baik dari segi lahiriah maupun batiniah. Skala yang lebih luas, kerusakan hati dan jiwa manusia juga akan mengakibatkan kerusakan alam yang lebih besar.
Kehidupan beragama saat ini banyak yang memusatkan pada keterlaksanaan ibadah secara teratur tanpa melihat lebih dalam apa tujuan dari ibadahnya. Banyak di antara kita yang gelisah dan takut ketika belum mengerjakan ibadah tetapi tidak kuwatir berpaling dari makna ibadahnya. Para Dai dan Guru hanya berfokus menjabarkan hukum Tuhan yang terlepas dari hukum alam atau Sunnatullah. Sehingga kesalehan spritual dalam masyarakat hanya mampu dilihat dari pelaksanaan ibadah ritual saja. Yaitu dengan menyibukkan diri di tempat ibadah, dan simbol-simbol agama yang dikenakan sebagai aksesoris kesalehan seseorang.
Sebagai kaum yang beragama, tentunya kita punya kesempatan untuk memikirkan kembali hubungan manusia dengan lingkungan, terutama dengan berangkat dari perspektif Islam. Sebagaimana manusia diciptakan berdasarkan tugas utamanya sebagai khalifah fil ardh.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 31 menjadi isyarat bagi kita bahwa pelajaran pertama Adam di surga dari Tuhan adalah terkait dengan pelaksanaan tugasnya yaitu pengenalan dengan ekologi. Demikian itu, kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya.
Semua itu harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya. Sehingga dapat dipahami salah satu penyebab krisis ekologi dikarenakan krisis spritual dalam beragama, dan kesadaran ekologis akan berbanding lurus dengan kesadaran spritual. (*)
Al Amin, S.Pd.I., M.Pd.I
Dosen UIAD Sinjai