Suara Jelata – Di era Indonesia modern yang ditandai dengan derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang dirayakan secara euforia, secara tidak langsung berimbas Indonesia saat menghadapi tantangan besar dalam hal kesadaran berbangsa dan bernegara. Membanjirnya gempuran kebudayaan asing seperti air bah menjebol bendungan. Dengan terfasilitasi berbagai media dan teknologi dapat secara bebas leluasa hadir di tengah-tengah kehidupan komunitas dan juga sangat berpotensi mempengaruhi nilai-nilai kebudayaan lokal.
Dunia saat ini tidak dibatasi dalam ruang dan waktu. Semua informasi baik yang positif maupun negatif dapat diakses dengan mudah, termasuk berbagai kultur dari mancanegara yang kadang tidak sesuai dengan pola kultur ketimuran. Fenomena tersebut tentunya dapat berimbas pada nafas kehidupan masyarakat Indonesia yang sejak dulu memegang teguh prinsip normatif etika sebagaimana diwariskan oleh para pendahulunya.
Apabila fenomena tersebut tidak segera diantisipasi dengan bijak, lambat laun nilai nasionalisme bangsa kita akan tereduksi. Nasionalisme tersebut dapat dimaknai sebagai suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunyai tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional. Nilai nasionalisme ini sangat penting juga prinsipiil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan kecintaan dan kehormatan terhadap bangsanya sendiri.
Untuk meminimalir tereduksinya nilai nasionalisme, kiranya perlu dilakukan upaya-upaya strategis untuk membangkitkan kembali nilai-nilai tersebut melalui pendidikan baik formal maupun informal, dengan mengenalkan kembali generasi saat ini dengan norma-norma pendidikan berbasis budaya. Salah satunya dengan mengenalkan cerita wayang yang di dalamnya memuat berbagai pembelajaran humaniora yang sarat dengan nilai tontonan juga tuntunan hidup.
Tokoh Gatotkaca
Dalam cerita wayang, nilai-nilai karakter dapat dipahami dari masing-masing tokohnya, baik tokoh dari epos Mahabharata maupun Ramayana. Seperti tokoh Gatotkaca yang dapat menjadi kaca benggala atau contoh dari ketangguhan karakter dalam memegang prinsip yang diyakininya.
Dalam kisah pewayangan Jawa, Gatotkaca adalah anak Arimbi dengan Bima. Ibu Gatotkaca dikenal sebagai putri dari keraaan Pringgandani, negeri bangsa raksasa. Waktu dilahirkan, Gatotkaca berujud raksasa. Karena kesaktiannya, banyak sejata ampuh dari seluruh pelosok negeri yang tidak mampu memutus tali pusarnya. Beruntung pamannya Arjuna berhasil, memutus pusar keponakannya tersebut dengan sarung senjata Kuntawijayandanu. Keajaibannya, sarung senjata tersebut masuk ke tubuh Gatotkaca, yang malahan semakin menambah kesaktiannya (Atmo Hariwidjoyo, 2011).
Atas kehendak para dewata, bayi kecil Gatotkaca dimasukkan ke Kawah Candradimuka yang berisi kawah mendidih seperti lelehan lava yang panas membara. Badan Gatotkaca tidak lumat, namun tetap tegar, bahkan menjadi semakin kekar dan kokoh. Tokoh ini mampu terbang di atas rata-rata pada ksatria pada umumnya. Pada saat masih kecil sudah diminta bantuan para dewata untuk membasmi keangkaramurkaan Prabu Kala Pracona dari Kerajaan Gilingwesi yang akan merusak Kahyangan Jonggringsalaka.
Gatotkaca adalah sosok patriot sejati. Dia begitu setia pada negerinya, pada keluarganya, juga pada kebenaran yang diyakini. Gatotkaca juga patuh, ketika Sri Kresna, panasihat Pandawa, ketika memintanya untuk tidak mengeluarkan seluruh kesaktiannya saat awal perang Bharatayuda. Putra Bima ini lebih banyak diminta menjaga dari udara dan turun apabila memang situasi mendesak. Dia juga sangat patuh ketika diminta untuk mengeluarkan segala kesaktian yang dimiliki ketika menghadapi senapati Adipati Karna yang memiliki senjata andalan Kuntawijayandanu.
Gatotkaca sangat sadar betul, pada saat diminta maju ke medan danalaga, itu menandakan dia memang harus betul-betul siap menghadapi situasi paling buruk sekalipun. Namun demi cinta kepada bangsanya, tokoh ini siap dengan sepenuh hati, walaupun yang dihadapi nantinya adalah senapati andalan Hastina, yaitu Adipati Karna yang juga putra tunggal Dewa Surya sang penguasa matahari.
Pada saat Kurawa melancarkan serangan malam, pihak Pandawa pun mengirim Gatotkaca untuk menghadang laju gerak pasukan musuh. Gatotkaca sengaja dipilih, karena Kotang Antrakusuma yang ia pakai mampu memancarkan cahaya terang benderang bagai lentera yang tak pernah padam, walaupun menghadapi cuaca buruk sekalipun.
Pertempuran malam tak dapat dihindarkan. Gatotkaca mengeluarkan segenap kemampuannya, karena yang dihadapi adalah pasukan andalan yang dipimpin oleh Adipati Karna. Banyak pasukan Kurawa dihabisi oleh Gatotkaca. Taktik yang dilakukan oleh Gatotkaca tak lain adalah memancing panglima Karna menghadapi dirinya. Melihat pasukannya kocar-kacir, Adipati Karna keluar dari induk pasukannya mencari keberadaan Gatotkaca.
Pertempuran dua tokoh sakti tersebut, bagaikan sepasang burung elang raksasa yang saling mematuk dan mencari titik kelemahan lawan. Merasa terdesak, Adipati Karna akhirnya melepaskan senjata andalannya Kuntawijayandanu.
Panah melesat bagaikan kilat mengejar Gatotkaca yang terbang membubung tinggi menyusup barisan mega di langit. Senjata pemberian Dewa Surya tersebut, tepat masuk ke perut Gatotkaca. Rupanya senjata tersebut mencari warangka atau sarungnya yang sejak kecil sudah masuh ke tubuh Gatotkaca. Menjelang saat terakhirnya, Gatotkaca merasa bangga dengan pengorbanannya. Senjata pamungkas Adipati Karna yang hanya sekali bisa digunakan dapat dilenyapkan. Selanjutnya, Pandawa akan merasa aman, karena senjata andalan dari pihak Kurawa sudah tidak ada yang dikhawatirkan. Tubuh Gatotkaca yang besar itu melayang jatuh dari udara, menimpa kereta Adipati Karna sampai hancur berkeping-keping. Akibatnya pecahan kereta tersebut melesat ke segala arah dan menewaskan banyak prajurit Kurawa yang berada di sekitarnya.
Nilai Karakter
Mencermati sosok Gatotkaca tersebut, kiranya dapat menjadi kaca benggala atau contoh bahwa seluruh komponen bangsa ini perlu mengedepankan dan mengaplikasikan nilai-nilai karakter dalam kehidupan nyata. Apabila nilai-nilai karakter yang merupakan hakikat hidup tersebut dapat dimaknai secara mendalam dan diimplementasikan dalam tataran praktis, tentunya berbagai gejala degradasi bangsa yang selama ini dikhawatirkan dapat dieliminasi.
Dalam diri tokoh tersebut, nilai-nilai karakter yang dapat diambil di antaranya nilai religius. Tokoh ini selalu mematuhi nasihat orang tua dan menjalankan segala nasihatnya. Ia selalu mengedepankan dan menghargai keputusan orang tua ketimbang keputusan pribadinya. Tokoh ini juga memiliki rasa nasionalime tinggi yang patut diteladani. Kepedulian tinggi terhadap negara dan sesama selalu manjadi prinsip hidupnya. Demi negara dan bangsa, jiwa adalah taruhannya. Kontribusi terhadap negara tanpa pamrih selalu melandasi dari perjalanan hidupnya.
Kiranya nilai-nilai tuntutan dalam tokoh wayang tersebut dapat menjadi acuan bagi bangsa Indonesia untuk selalu mengedepankan nilai nasionalisme. Kepentingan bangsa dan negara perlu menjadi prioritas utama dikomparasikan dengan kepentingan personal atau kelompoknya. Dengan demikian, jiwa karakter nasionalisme yang penting untuk diteladani adalah upaya nyata agar semua komponen bangsa ini bermanfaat bagi diri sendiri, sesama, negara, serta mampu membalas budi kepada siapa saja yang memberikan perubahan dalam kehidupan. (*)
Penulis:
Drs Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Ketua Sanggar Seni Ganggadata
Desa Jogonegoro, Kabupaten Magelang dan
Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang