Opini

OPINI: Alokasi Dana Desa Secara Akuntabilitas di Tengah Pandemi

×

OPINI: Alokasi Dana Desa Secara Akuntabilitas di Tengah Pandemi

Sebarkan artikel ini
Mirnawati

OPINI, Suara Jelata— Semenjak pandemi Covid-19 menyebar di Indonesia, sangat berpengaruh pada sektor perekonomian negara. Sehingga pemerintah, khususnya Presideen Joko Widodo meminta seluruh jajaran kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk melakukan realokasi dan refocusing APBN dan APBD.

Dampak pandemi ini dibidang ekonomi sifatnya menyeluruh, karena tidak hanya dirasakan di kota, namun juga sampai ke pedesaan. Misalnya desa yang memiliki pendapatan dari sektor wisata, dengan adanya kebijakan lockdown dan social  distancing yang dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga harus menutup tempat wisata sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Scroll untuk lanjut membaca
Scroll untuk lanjut membaca

Selain itu, juga berdampak pada sektor pertanian dan perkebunan masyarakat desa yang keseharian dan penghasilannya bergantung pada hasil pertanian, banyak yang merasa kecewa, dikarenakan harga hasil tani mereka menurun, sedangkan kebutuhan pokok sehari-hari yang dipasarkan semakin tinggi.

Dan juga, hasil tani mereka mengalami penumpukan, sehingga harganya turun karena tidak dapat didistribusikan ke luar kota/daerah lain karena pembatasan wilayah.

Meskipun sekarang sudah memasuki tahap new normal, namun tetap saja pertumbuhan ekonomi di masyarakat masih terbilang rendah dikarenakan banyaknya pabrik-pabrik/perusahaan yang tutup, sehingga tidak ada aktivitas produksi, bahkan telah terjadi Pemutusan Hak Kerja (PHK) secara besar-besaran sehingga mengakibatkan banyaknya pengangguran.

Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan pemulihan ekonomi dengan cara menyalurkan bantuan ekonomi bagi masyarakat yang terdampak pandemi covid-19 ini yang berada di kota maupun di desa.

Di desa, bantuan ekonomi dari pemerintah disalurkan melalui dana desa. Dalam rangka penggunaan dana desa untuk menekan dampak dari pandemi ini, pemerintah mengalokasikan Rp. 72 Trilyun untuk dana di tahun 2020.

Hal ini terkait dengan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 535/2020 tertanggal 31 Maret Tahun 2020 tentang Penggunaan Dana Desa Tahun Anggaran 2020.

Penyaluran bantuan ekonomi kepada masyarakat yang terdampak pandemi ini membutuhkan pencatatan yang akuntabel, sehingga transparansi dalam pelaporan dana desa dapat terwujud.

Dalam hal ini, transparan berarti dikelola secara terbuka, akuntabel berarti dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan partisipatif, bermakana melibatkan masyarakat dalam prosesnya, yakni melalui rapat terbuka yang dilakukan oleh elemen-elemen penting yakni kepala desa, aparat desa, pemuda desa dan RT/RW dan warga setempat agar penyalurannya tepat sasaran dan dapat menghindarkan pembicaraan miring dari masyarakat.

Selain itu, keuangan desa harus dibukukan dan dilaporkan sesuai dengan kaidah sistem akuntansi keuangan pemerintah. Bentuk bantuan ini disebut dengan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa atau lebih dikenal dengan singkatan BLT.

Peruntukan dan proses penyaluran BLT  diatur melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2020 tentang perubahan Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.

Pada Pasal 1 ayat 28 menyebutkan “Bantuan Langsung Tunai Dana Desa adalah bantuan untuk penduduk miskin yang bersumber dari Dana Desa” Kisaran besaran yang diterima dari BLT tesebut pada tahap pertama, yakni Rp. 600/bulan dalam kurun waktu tiga bulan. Kemudian ditahap kedua dikurangi menjadi Rp. 300/bulan dalam kurun waktu yang sama yakni tiga bulan.

Bantuan penerimaan BLT ini baru pertama kali dilakukan oleh pemerintah sebagai dampak dari pandemi, namun persoalan mengenai akurasi data masih saja dijumpai dan menjadi faktor yang menuai persoalan baru di tengah masyarakat terkait penyalurannya yang seringkali tidak tepat sasaran.

Karena data kemiskinan terkadang ada manipulasi data yang tidak ditanggapi secara serius oleh pihak terkait dan kadangkala penerima BLT ini lebih mengutamakan kerabat, keluarga, aparat desa, sehingga menyebabkan kesenjangan dan kecemburuan sosial.

Untuk itu, seharusnya agar pemerintah daerah setempat, Kepala Desa, Aparat Desa dan yang terlibat dalam program BLT ini tidak main-main dalam pendataan penerima bantuan, agar penyalurannya tepat sasaran dan diberikan kepada yang memang berhak menerimanya akibat dampak pandemi Covid-19, supaya tidak terjadi konflik dan tumpang tindih dengan penerima bantuan lainnya, seperti PKH, BPNT dan bantuan sosial lainnya, sehingga penerima bantuan merata dan tidak ada yang double.

Maka dari itu, saya sebagai penulis yang juga turut mengamati penyaluran dana desa ini dalam bentuk BLT, menyarankan kepada setiap pemerintah setempat agar penyalurannya dilakukan secara transparansi dengan membuatkan semacam spanduk daftar penerima bantuan atau setidaknya diumumkan di Kantor Desa sehingga semua masyarakat mengetahui secara transparansi dan akuntabel.

Penulis: Mirnawati, Mahasiswa Akuntansi UIN Alauddin Makassar

Tulisan tersebut diatas merupakan tanggung jawab penuh penulis