“Babak Baru”, Memelihara yang Lama Menuju yang Baru dan Lebih Baik

Opini
Pameran lukisan "Babak Baru" oleh perupa Sang Aji Bandongan di Gedung Loka Budaya Jalan Alun-Alun Selatan No. 9 Kota Magelang tanggal 1-6 Juli 2024. (foto: Istimewa)

Suara Jelata Sebuah pameran seni rupa bakal digelar di Loka Budaya Kota Magelang pada tanggal 1-6 Juli 2024, gelaran ini sengaja mengambil tajuk “Babak Baru” sebagai kemasan pameran. Konsep dan latar belakang pameran ini muncul dari sebuah semangat kebersamaan, konektifitas kolektif, untuk mempublikasikan karya-karya peserta pameran, dalam sebuah hajat bersama.

Pameran ini juga menandai perubahan dari pergerakan berkesenian yang telah dilakukan sebelumnya, di mana pameran ini diharapkan menjadi sebuah tanda dari perubahan-perubahan yang sedang bergerak itu, terutama di lingkup kehidupan para perupanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keterkaitan lingkungan dan apakah seni rupa itu? Pertanyaan ini tentu tidak dilihat lagi sebagai usaha untuk mencari jawaban universal, namun lebih merupakan usaha untuk menelaah nilai-nilai estetik yang ada pada masyarakat, bagaimana ia bergerak, berjalan, berkembang, berkesinambungan, berubah dan bertahan.

Pameran bertajuk “Babak Baru” ini ditujukan untuk merekam suatu keadaan, di sekitar praktik seni rupa, pada locus: yakni, melibatkan sejumlah karya seniman yang bergabung dalam kelompok seni rupa “Sang Aji”. Kelompok ini dalam keseharian bermarkas di Bandongan, suatu wilayah di sisi barat Magelang di bawah bayang-bayang budaya dan pemandangan landscape gunung Sumbing.

Sebagai kelompok, Sang Aji mempunyai sejarah berkelanjutan semenjak berdirinya Paguyuban Seniman Bandongan (Paseban) di tahun 2003. Sebuah kelompok yang digawangi oleh seniman sepuh termasuk Kabul Sungkono dan Soewito, dua pelukis senior Magelang waktu itu. Sekarang kelompok ini digawangi oleh M. Rachman dan kawan-kawan.

“Babak Baru” digagas secara murni oleh para seniman sendiri, dengan modal semangat kebersamaan yang kuat untuk menyatakan diri sebagai bagian dari dunia seni rupa di Indonesia. Elanvital kebersamaan sebagai gerakan daya hidup, upaya hidup, walaupun posisinya berada di pinggiran, bukan pada arus mainstream kesenian yang ada di kota-kota besar. Patut dihidupi dengan keuletan dan semoga bisa terus bergulir serta makin melebar.

Bagaimana yang teramati dan tersajikan dalam pameran ini menjadi suatu singkapan terbuka, mengandung tawaran pembacaan diskursif tentang praktik seni rupa di wilayah pinggiran, yang jauh dari pusat perkembangan seni rupa di kota-kota besar di Indonesia. Sebagaimana galibnya, seni rupa dipraktikkan dalam ragam kecenderungan dan jelajah medium, menyoal isu-isu yang luas. Baik dari sebatas ekspresi, tentang sekitar, sosial politik, bahkan berkaitan dengan melimpahnya imaji-imaji dari latar budaya yang dimiliki oleh pelakunya.

“Babak Baru” mengandung pula sisi lain tentang sikap dan daya pikir manusia yang memiliki relasi dengan lingkungan. Pandangan ini mengingatkan pada keadaan di sekitar Bandongan, sisi barat wilayah Magelang. Tentang keberadaan gunung Sumbing, tentang hikayat-hikayat juga lahir dan diceritakan para leluhur, tentang ingatan pada batin atau pengalaman yang imajiner bagi masyarakatnya. Pertanyaannya, apakah pengetahuan yang dimiliki tentang landscape, bentang alam dan juga narasi-narasi ingatan tersebut sudah menubuh, tanpa berjarak, dan menjadi inspirasi kreativitas dalam keseharian terutama bagi para pelaku seni yang juga bagian dari masyarakat penghuninya.

Pameran “Babak Baru” ini adalah salah satu cara mengajak audiens untuk mengidentifikasi kembali ekspresi sebagai bagian dari aktualisasi pengalaman aktivitas artistik yang bersifat subjektif, personal, dan individual secara kontekstual. Bahwasanya esensi penciptaan karya seni dalam rupa bukan hanya terletak pada ekspresi personal, melainkan juga pada relasional (lingkungan dan pergaulan) yang melingkupinya. Potensi kreatif yang dimiliki oleh masing-masing individu perupa pada dasarnya merupakan daya kreatif sebagai proses untuk membangun kembali persepsi tentang suatu teknik, corak dan material dalam terobosan penciptaannya, serta menjadi bagian untuk mengolah hasil refleksi subjektif dari pengalaman nyatanya.

Maka dari itu, diharapkan para seniman peserta pameran dapat mengkontribusikan keliaran dan kebebasannya dalam mengolah dan menciptakan rupa yang utuh dan orisinil. Dengan kata lain berkarya bisa lebih bebas bereksplorasi. Karya yang dihasilkan memiliki jiwa, bukan hanya sekedar keindahan estetika saja, namun mengandung nafas spiritual yang menunjukkan ciri khas dari karya yang dihasilkan dari pengalaman subyektif yang menggugah rasa takjub para penikmat seni. (*)

Muhammad Nafi,
Penulis tinggal di Magelang

Dapatkan update berita pilihan setiap hari dari suarajelata.com.

Mari bergabung di Halaman Facebook "suarajelata.com", caranya klik link Suara Jelata, kemudian klik ikuti.