Suara Jelata – Tanggal 3 Juli 2024 merupakan momentum histori yang tidak dapat dilupakan oleh seluruh bangsa Indonesia, karena sampai saat ini usia perguruan Tamansiswa sudah 102 tahun atau lebih dari satu abad. Suatu usia yang sudah dapat dikatakan matang.
Perguruan Tamansiswa pernah menduduki puncak tangga dalam percaturan pendidikan di Indonesia. Suatu nama yang menghantarkan bangsa Indonesia pada arah pola pikir dan pola tindak yang sistematis dan konstruktif dengan roda-roda pendidikan melalui perjuangan Ki Hadjar Dewantara.
Setiap warga negara Indonesia pasti sudah mendengar sosok Ki Hadjar Dewatara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Apabila ditelisik lebih mendalam setiap tanggal 3 Juli sebetulnya merupakan momentum tonggak historis pendidikan nasional karena pada tanggal 3 Juli 1922 tersebut Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Tamansiswa. Sekolah baru pribumi yang terbuka untuk semua strata dengan guru-guru pengampunya berasal dari bangsa Indonesia sendiri. Suatu sikap nasionalisme yang tak terbantahkan, bahwa keyakinan yang mendasari perjuangannya, pendidikan di Indonesia, pendidiknya harus berasal dari bangsa sendiri.
Momentum berdirinya Perguruan Tamansiswa waktu itu tidak lepas dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang merasakan akses untuk memeroleh pendidikan yang layak hanya diprioritaskan pada golongan tertentu saja. Diskiriminasi dari pemerintah kolonial untuk membatasi bangsa Indonesia dalam menempuh pendidikan sangat terasa sekali.
Ki Hadjar Dewantara berpendapat dalam rangka memersiapkan Indonesia merdeka, kecerdasan bangsa Indonesia merupakan syarat mutlak untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pendidikan merupakan ladang penyemai kecerdasan. Makna kecerdasan di sini perlu diperluas tidak hanya sekadar kecerdasan kognisi atau intelektual, melainkan sinergitas antara cipta, rasa, dan karsa yang harus sama-sama berproses dalam elaborasi.
Mengacu dari landasan berpikir tersebut, pendidikan yang dielaborasikan di Perguruan Tamansiswa meletakkan prinsip dasarnya pada nilai-nilai kearifan budaya lokal. Kesenian merupakan media untuk menghaluskan budi. Sebagai bagian dari kebudayaan, kesenian ruang lingkupnya dapat meluas dan tidak dapat lepas dari kehidupan manusia.
Kedudukan kesenian dalam kebudayaan di seluruh dunia selalu dipakai sebagai parameter untuk menetapkan rendah tingginya kebudayaan dari sesuatu bangsa. Seni budaya di Perguruan Tamansiswa pada saat itu bukan hanya sebagai komplementer, melainkan menjadi instrumen pokok dalam proses pembelajarannya yang juga menjadi ciri spesifiknya.
Opsi dari bentuk perguruan yang dipilih dengan pamahaman, bahwa di perguruan tersebut para pendamping atau pamong bermukim, sehingga dapat memberikan pendampingan intensif kepada peserta didik yang tidak dibatasi waktu. Dipilih terminologi taman, karena Ki Hadjar Dewantara mengharapkan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan untuk belajar, bukan tempat yang membosankan karena terlalu steril dan terkesan eksklusif atau jauh dari kehidupan di lingkungannya (Darmaningtyas, 2022).
Pergumulan Dinamika
Dalam usianya yang lebih dari satu abad sekarang ini, sudah tentu Tamansiswa sebagai tonggak berdirinya pendidikan di Indonesia sudah banyak mengalami pergumulan dinamika selama menapaki jejak waktu yang terus bergulir. Namun, ajaran Ki Hadjar Dewantara tersebut sampai saat ini tak lekang oleh waktu dan terus abadi.
Dalam pandangan Tamansiswa yang sangat elementer adalah mengisyaratkan pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal yang saling berkelindan dan tidak dapat saling dipisahkan satu dengan lainnya. Pendidikan tidak akan sampai pada tujuannya apabila mengabaikan nilai-nilai luhur dan budaya masyarakat setempat.
Lebih jauh lagi, di Tamansiswa terdapat teori kebudayaan yang sangat dikenal oleh komunitas luas di negeri ini, yaitu Teori Trikon yang di dalamnya berisikan pemaknaan mendasar tentang kontinuitas, konvergensi, dan konsentrisitas. Kontinuitas mengandung makna, kita perlu selalu menjaga nilai-nilai kultur para pendahulu dan melanjutkan kejuangannya dalam implementasinya di dalam kehidupan sehari-hari.
Konvergitas memiliki makna, kita juga perlu memberikan ruang dialog antara budaya kita dan budaya manca agar terajut komunikasi demi terciptanya kultur baru positif yang harmoni dengan kehidupan bangsa Indonesia. Sedangkan konsentrisitas mengandung pemahaman, kita seyogianya dapat memastikan bahwa budaya baru yang tercipta atas bertemunya budaya kita dengan budaya manca adalah budaya yang konstruktif dan lebih bermanfaat untuk kehidupan masyarakat.
Di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini, teori Trikon tersebut masih sangat relevan dan semakin diperlukan dalam kehidupan masyarakat termasuk generasi mudanya. Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkelindan, sehingga diharapkan dapat semakin mengokohkan jati diri bangsa Indonesa.
Tidak Pernah Padam
Tidak dapat dipungkiri, sampai saat ini spirit pendidikan Tamansiswa dapat menjadi parameter hakikat sejatinya tujuan pendidikan di tanah air. Nyala api roh pendidikan yang dirintis oleh Bapak Pendidikan masih terus menyala tak pernah padam dalam memberikan pencerahan dan penerangan sampai pelosok negeri. Di Perguruan Tamansiswa tujuan pendidikan difokuskan untuk membangun peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir dan batin, luhur akal budinya, cerdas berketerampilan, baik sehat jasmani dan rohaninya. Sehingga nantinya dapat menjadi anggota masyarakat yang berdedikasi, tanggung jawab, serta mandiri.
Dari tujuan mendasar pendidikan tersebut, nafas juga roh tujuannya dapat dikorelasikan dengan tujuan pendidikan era kapan saja, termasuk dalam Kurikulum Merdeka yang saat ini diberlakukan. Peserta didik perlu diberi ruang kemerdekaan seoptimal mungkin. Meskipun bukan berarti kemerdekaan yang tanpa batas untuk mengembangkan potensi diri yang dimiliki. Diperlukan pendampingan intensif, terarah, dan berkelanjutan agar potensi yang dimiliki peserta didik dapat berjalan paralel dengan kodrat alam.
Usia Tamansiswa yang sudah masuk lebih dari satu abad atau tepatnya 102 tahun, kiranya dapat menjadi momentum agar semua komponen bangsa ini lebih banyak melakukan refleksi bahwa ajaran Ki Hadjar Dewantara sebagai pendiri Tamansiswa masih tetap aktual untuk diimplementasikan selaras dengan tanda-tanda zaman. Yang menegaskan bahwa hakikat pendidikan tak lain adalah menekankan pada proses humanisasi sebagai kiat untuk memanusiakan manusia agar peserta didik dapat membentuk dirinya menjadi pribadi utuh.
Selamat Hari Lahir Perguruan Tamansiswa tahun 2024! (*)
Penulis:
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.,
Alumnus Magister Pendidikan
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta,
Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang,
serta Pendamping Artikel Ilmiah Populer
para Guru SMK Negeri 1 Magelang