Menelisik Pelestarian Pustaka Kultural Topeng Nusantara

Opini
Koleksi Museum Sonobudoyo: Penguasaan perawatan topeng Nusantara di Museum Sonobudoyo menjadikan benda seni bertahan dan terawat baik. (foto: I Wayan Dana/Dwi Anugrah)

Suara JelataMuseum Sonobudoyo Yogyakarta merupakan museum terlengkap setelah Museum Nasional di Jakarta. Dalam museum ini tersimpan berbagai benda koleksi seni di antaranya patung perunggu, patung berbahan emas, macam-macam keramik, wayang kulit, batik, karya seni berbahan bambu, dan macam-macam karakter topeng Nusantara. Topeng-topeng ini dirawat dan dipanjang di satu tempat khusus sehingga benda koleksi ini mampu bertahan ratusan tahun dan dapat disaksikan keberadaannya hingga sekarang. Bagaimana upaya pelestariannya, adakah strategi khusus dalam pemeliharaan, perlidungan, perawatan, dan pemanfaatannya?

Menarik dibicarakan kali ini dan penting diketahui pelestarian topeng-topeng Nusantara di Museum Sonobudoyo Yogyakarta, agar pengetahuan merawat, memelihara, melindungi topeng-topeng itu sebagai benda koleksi seni dan pusaka budaya yang memiliki nilai-nilai estetik, artistik, dan historik tetap dapat diketahui oleh generasi kini maupun akan datang. Upaya pelestarian seni sebagai pusaka budaya, juga penting diketahui oleh masyarakat luas sebagai pengetahuan pelestarian dan pengembangan seni topeng Nusantara di luar Museum Sonobudoyo Yogyakarta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Museum Sonobudoyo Yogyakarta

Yogyakarta memiliki berbagai bentuk peninggalan jejak sejarah atau warisan tradisi, budaya, dan pusat kesenian yang adiluhung dalam lintasan waktu cukup panjang, sehingga dapat dipakai untuk melacak keberadaan ‘sisa’ kesenian yang hidup hingga kini. Berbicara tentang Yogyakarta, maka tidak bisa terlepas dari Karaton Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pura Pakualaman menjadi pusat serta awal aktivitas kebudayaan mencerminkan sifat-sifat agung. Sifat agung itu tergambar dalam rancangan tata kota disusun secara konsentrik dengan sebutan Catur Gatra Tunggal (empat wujud yang menyusun satu kesatuan). Catur berarti empat, gatra adalah wujud, dan tunggal berarti satu. Karaton menjadi pusat peradaban, alun-alun sebagai ruang publik untuk masyarakat luas, pasar Bringharjo sebagai wadah dan pergerakan ekonomi, dan Masjid Agung sebagai landasan kehidupan spiritual (Tsani, 2018: 65-67).

Di seputar wilayah Yogyakarta juga berdiri megah bangunan candi, seperti Candi Kalasan, Prambanan, Ratu Boko, dan lainnya yang menguatkan kedudukan Yogyakarta sebagai gudang peninggalan peradaban masa lalu. Selain candi, di Yogyakarta terdapat cukup banyak museum yang mengelola berbagai macam benda koleksi, seperti Museum Benteng Vrederbug, Monjali, Dirgantara Mandala, Bahari, Sonobudoyo, dan lainnya. Oleh karenanya Yogyakarta, dikenal sebagai Kota Pendidikan, Kota Budaya, Kota Kesenian, Kota Pejuang, dan Kota Pariwisata, Kota Gudeg, Kota Buku serta Kota Mural (Albiladiyah, 2012: 118-148). 

Museum adalah tempat yang digunakan untuk menyimpan, merawat, menyajikan atau memamerkan dan melestarikan warisan atau ‘pusaka budaya’. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa bangsa Indonesia dan interaksinya dengan budaya lain sepanjang perjalanan sejarah keberadaannya (Adishakti, Maret 2004). Didasari hal itu, maka museum juga untuk tujuan penelitian, pendidikan, dan hiburan. Melalui tujuannya itu, museum sebagai institusi permanen, nirlaba, melayani kebutuhan masyarakat, bersifat terbuka, pelestari dengan usaha melakukan pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengkomunikasikan, dan memamerkan benda-benda karya budaya kepada masyarakat luas, seperti keberadaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta (Suryandaru, 2018: v—vi).

Museum Sonobudoyo Yogyakarta terdiri dari dua unit, yaitu Museum Sonobudoyo Unit I terletak di Jalan Trikora Nomor 6 (Alun-alun Utara), dan Unit II berada di Ndalem Condrokiranan, Wijilan, di sebelah timur Alun-Alun Utara Karaton Yogyakarta. Sonobudoyo merupakan salah satu museum dengan koleksi terbanyak dan terlengkap di Indonesia setelah Museum Nasional di Jakarta. Benda atau karya seni koleksi Museum Sonobudoyo sebagian besar didominasi oleh koleksi Java-Institut (1919) yang utamanya berasal dari Pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok, sebagai wilayah kebudayaan yang dalam colonial gaze disebut sebagai ‘Jawa’ (Priyanggono, 2018: ix).

Koleksi Topeng Nusantara Sebagai Pusaka Budaya

Benda-benda koleksi berupa karya seni yang berada di Museum Sonobudoyo Yogyakarta, yang menarik dikaji dan dibicarakan pada kesempatan kali ini adalah pelestarian pusaka budaya topeng Nusantara. Hal ini tentu memberi nilai pengetahuan, karena topeng-topeng karya seni koleksi itu mencerminkan berbagai karakter manusia maupun binatang. Koleksi Tapel-topeng yang hingga kini terawat dengan baik di Museum Sonobudoyo berjumlah sekitar 800 koleksi (Riharyani, 2015: 02) terdiri dari Topeng Panji gaya Yogyakarta, Cirebon, dan Malang. Topeng Ramayana gaya Yogyakarta dan Jawa Tengah, Cirebon, dan Bali. Topeng Mahabarata gaya Cirebon dan Punakawan Cirebon. Topeng bercerita Babad Bali, Gajahmada, Sidhakarya, Barong Landung, dan Punakawan Bali. Beberapa penggambaran figur cacat dan topeng religi (The Power of Topeng, 2015), yang pada umumnya berbahan kayu.

Kayu yang digunakan bahan topeng tentu kayu pilihan dengan pertimbangan, mudah pengerjaannya, tidak mudah dimakan penyakit kayu seperti rayap atau sejenisnya, dan bahan kayu mudah diperoleh di sekitar alam setempat. Tradisi pembuatan topeng sudah menjadi pekerjaan undagi (profesi pembuat karya seni topeng), yang dilakukan secara turun temurun dan dikuatkan dari dorongan energi gaib yang diterima oleh para kriyawan tapel-topeng. Kayu yang lazim digunakan bahan topeng adalah kayu pule, jaranan, sengon, dan waru. Menebang kayu dipilih pada musim kering dan kayu yang hidup serta tumbuhnya bersamaan dengan tumbuhnya berbagai pohon secara bersamaan, sehingga pohon atau kayu sebagai bahan topeng menjadi ‘kiyeng’ atau sangat kuat serta memilik daya tahan ampuh melawan penyakit rayap pemakan kayu.

Di Bali sejak awal pencarian kayu untuk bahan topeng didasarkan atas perhitungan sekala dan niskala. Sekala, yaitu kenyataan yang terkait dengan pertimbangan wuku/sasi/bulan baik (bulan Katiga sampai Kalima). Niskala, yaitu tidak nampak yang mencakup permohonan kepada kekuatan alam semesta, energy spiritual melalui Tuhan Sang Pencipta dengan menjalankan tahap-tahap aktivitas ritual.

Topeng koleksi Museum Sonobudoyo upaya pelestariannya dilaksanakan berdasarkan tataran preventif dan kuratif. Topeng dirawat secara preventif, artinya topeng disimpan di dalam ruang penyimpanan pada kondisi temperatur 18-24 derajat C. Relatif kelembaban berada di sekitaran 45-55%, dengan sinar ultraviolet  tidak boleh lebih dari 75 mikro watt/lumen dan intensitas cahaya tidak boleh lebih dari 200 lumen. Mengingat bahwa topeng berbahan organik sehingga sangat terpengaruh oleh temperatur, kelembaban, ultraviolet, dan intensitas cahaya.

Perawatan secara kuratif bisa dilakukan dengan cara:

  • Pembersihan debu secara mekanis dengan menggunakan kuas dan vacuum cleaner.
  • Apabila terdapat noda yang menempel di topeng, bersihkan dengan beberapa cairan, di antaranya dengan air, gunakan cattonbud dan bersihkan secara perlahan. Jika noda bisa terangkat, maka dengan cairan air sudah cukup.
  • Apabila dengan air tidak dapat menghilangkan noda, maka dicoba menggunakan larutan alkohol dengan kadar rendah sekitar 3%, prosesnya sama ketika menggunakan air.
  • Bila belum bisa melepas noda dengan alkohol kadar rendah, maka gunakan larutan white spirit dengan konsentrasi yang sangat rendah. Akan tetapi, dengan larutan white spirit menyebabkan pewarna topeng ikut terbawa atau menjadi luntur, maka proses ini tidak boleh dilanjutkan.
  • Jika kondisi topeng terdapat bagian yang hilang, maka perlu dilakukan restorasi. Untuk penambahan atau menambal digunakan bahan yang sesuai dan reversible. Bisa juga dicari/menggunakan serbuk gergaji sesuai dengan jenis kayu bahan topeng. Bahan gergajian dicampur lem fox, dengan bahan itu dilakukan penambalan. Untuk finishing ada dua pendapat bisa dilakukan, yaitu pengecatan sesuai warna aslinya, dan yang kedua membiarkan apa adanya atau tidak dicat untuk menunjukkan bahwa bagian tersebut telah direstorasi.
  • Langkah kuratif yang dilakukan konservator dalam penanganan kerja, khususnya merawat, memelihara, dan melindungi benda koleksi seperti di bawah ini.
  • Mengecek kondisi benda koleksi dengan cermat dan hati-hati, memakai kaos tangan untuk menjaga sentuhan langsung pada tapel-topeng. Ketika pengecekan, tenaga ahli mengamati satu-persatu tapel-topeng untuk mengetahui bahwa koleksi berada dalam keadaan baik (tidak dimakan rayap, penyinaran dan kelemban cukup serta penempatan tertata dengan baik).

Upaya Pelestarian

Pelestarian tapel-topeng telah dilaksanakan oleh para undagi  (pembuat) topeng secara tradisi dan ototidak. Mereka mempelajari pengetahuan dan praktik pemeliharaan dan perawatan tapel-topeng dari para leluhurnya turun menurun secara alami. Kini, di zaman serba canggih disertai kehadiran media atau alat teknologi diperlukan penguasaan pengetahuan perawatan, pemeliharaan, dan perlindungan benda seni termasuk benda koleksi. Seperti topeng di Museum Sonobudoyo Yogyakarta yang dapat dipelajari secara formal dan didokumentasikan. Dari proses pembelajaran secara berkesinambungan itu, terus dapat dikembangkan untuk mendukung keahlian para konservator dalam kinerja pelestarian pusaka budaya, khususnya Topeng Nusantara.

Disadari bahwa seni pertopengan sebagai benda koleksi karya seni yang memiliki nilai artistik, estetik, dan historik, maka pengembangan pengetahuan tentang upaya pelestarian pusaka budaya dalam aktivitas konservasi seni menjadi penting. Pentingnya agar benda koleksi seperti tapel-topeng mampu bertahan lama sehingga tetap dikenal dan diketahui oleh generasi kini dan akan datang, baik sebagai media seni pertunjukan maupun benda koleksi museum dan karya seni koleksi pribadi.

Hal itu selaras dengan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang menegaskan bahwa pemerintah memiliki perhatian khusus terhadap upaya-upaya peningkatan kebudayaan di Indonesia. Kebudayaan merupakan investasi masa depan dalam membangun peradaban bangsa. Karena itu, pemajuan kebudayaan Indonesia bakal maju dan bertahan hingga usia bumi berakhir. Pemajuan Kebudayaan memiliki cara pandang bahwa kebudayaan sebagai investasi, bukan dinilai dari angka-angka. (*)

Penulis:
Prof. Dr. I Wayan Dana, S.ST., M.Hum
Guru Besar ISI Yogyakarta

Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd.
Ketua Sanggar Seni Ganggadata Kabupaten Magelang, dan
Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang

Dapatkan update berita pilihan setiap hari dari suarajelata.com.

Mari bergabung di Halaman Facebook "suarajelata.com", caranya klik link Suara Jelata, kemudian klik ikuti.